Saturday, April 19, 2008

Makkunrai itu Lily Yulianti Farid

Bertemu Blogger asal Makasar yang satu ini langsung beliau bercerita tentang buku-buku. Beliau yang biasa di sebut Daeng Nuntung ini meminjamkan buku yang menarik padaku. Buku setebal 152 halaman itu baru ku baca keesokan harinya. Buku itu habis kulahap hanya setengah hari saja. Itupun diselingi canda dengan ponakan tercinta. Yang belum bisa membaca dan menulis. Melihat sampul bukunya kami pun lalu menyanyikan sebuah lagu yang sedikit cocok dengan tema cover itu.

Matahari terbenam
Hari mulai malam
Terdenga burung hantu
Suaranya merdu

Ku ku…ku ku...ku ku...ku ku...ku ku...
Ku ku…ku ku...ku ku...ku ku...ku ku...

Walau tidak sepenuhnya terwakili. Buku dengan latar langit biru itu memberi karakter kuat. Setidaknya pada gambar siluet seorang perempuan yang melompati pagar dan burung-burung yang berterbangan. Yang mewakili keinginan akan “kebebasan”. Dan itu mewakili cerita yang terdapat dalam buku itu yaitu tentang “makkunrai” yang berarti perempuan dalam bahasa Bugis.

Buku yang berisi 11 cerpen ini, menarik disetiap ceritanya. Pemilihan kata yang humoris dan mengalir membuat kita saat membaca ingin segera melahap semua isinya. Kelucuan, keharuan, kegusaran, dan miris kadang kita temukan dalam satu cerita. Melihat setting dari setiap cerita di dalamnya, tahulah kita kalau sang penulis banyak membaca dan melakukan riset guna mendapatkan gambaran yang benar tentang suatu tempat.

Setiap makkunrai yang menjadi tokoh utama dalam cerita-cerita ini membawa misi tentang kesetaraan. Atau paling tidak ingin mendapatkan posis setara dalam segala hal. Pesan perjuangan para makkunrai juga kuat. Dimana para makunrai tetap memperjuangkan kehendak bebasnya dalam situasi yang sering tidak menguntungkan bagi mereka, disebabkan meraka makkunrai. Cerita di dalamnya semakin asyik saat mengangkat polemik yang terjadi disekitar kita dan diceritakan dengan ringan. Dimana sentilan terhadap sosial politik dalam negeri dan kondisi dunia secara global di sajikan dengan baik. Seakan kita menyantap hidangan baru yang membuka mata tentang sekeliling kita.

Membaca buku Lily ini saya seperti melihat Kartini dalam surat-surat kepada sahabatnya. Agak jauh dari kehendak bebas para makkunrai yang banyak terjadi di negeri ini. Setidaknya banyak tokoh dalam Makkunrai dari cerita ini hanya berputar-putar pada dirinya sendiri. Ya, mereka adalah Kartini dalam kotaknya bagi saya.

Namun begitu sindiran yang di hadirkan dalam makunrai berjalan laju dari masa lalu sampai dengan kekinian. Membuat mengenang keadaan masa lalu dan sekarang dengan terang. Cerpen ini penuh inspirasi bagi penulis untuk dapat menulis indah. Saya sangat suka dalam pemilihan kalimat serta emosi yang di hadirkan dalam buku ini. Apa lagi bahasa yang humoris dan renyah seperti dalam Nua, Diani dan lelaki Bejat

“ kami para warga kota mencintai mie pangsit ayam Kios Maryana menaikkan bendera setengah tiang. Kami berkabung. Sejak kasus perselingkuhan Akoh, pemilik kios itu menjadi pembicaraan hangat.

Perubahan ini jelas membuat kami para penggemar mie pangsit ayam buatan suami istri itu, terguncang dan kehilangan arah”

Jadi saya ucapkan selamat untuk Makkunrai bernama Lily Yulianti Farid atas inspirasi untuk menulis. Dan untuk Daeng Nuntung atas pinjaman bukunya.

Sunday, April 6, 2008

Merpati

Terakhir aku melihatnya masih berduaan saat mampir kerumahku. Bermain di dekat ember air di samping rumahku. Sambil sesekali duduk di dahan batang belimbing. Suara riang dan saling bercanda dengan kekasihnya menyelusup masuk ke kamarku. Aku tidak tahu kalau mereka kekasih atau hanya sekedar teman. Tapi dari caranya memandang dan berbicara aku tahu kalau ada cinta diantara mereka. Maka aku memutuskan kalau mereka sepasang kekasih.

Kemarin aku tidak melihat kau datang lagi bermain di samping rumahku atau di pohon belimbing. Memang hujan beberapa hari ini selalu membasahi bumi setelah hari-hari dilanda panas yang sangat. Saat semua yang hidup serasa menjadi lebih tua dari semestinya. Sampai awan yang menggelap membawa kabar akan turunnya rintik air dari sana. Tentu semua bersuka cita. Hanya kau yang kulihat murung. Saat itu aku lihat kehadiranmu di samping jendela kamarku. Tanpa suara dan sendirian. Kau hanya memain-mainkan air di ember sambil sekali menatap langit. Seseolah menunggu sesuatu datang dari sana. Kau lebih banyak gelisah dan diam. Sebenarnya aku ingin menanyakan kemana kekasihmu itu. Tapi melihat kau yang begitu resah membuat aku membatalkan niat itu. Dan hanya memandangi semua gerak-gerikmu.

Hujan kembali turun. Kulihat kau tidak menyadarinya atau kau terlalu sibuk dengan suasana hatimu sendiri sampai kau tidak memperdulikan hujan yang membasahi tubuhmu. Tapi sepertinya waktumu sudah habis di rumahku. Langit sudah muai gelap. Matahari yang tertutup awanpun perlahan tertelan bumi. Kau pun segera pergi tanpa sepatah katapun hari ini. Selalu melewati jalan yang sama.

Entah mengapa aku begitu menantikan kehadiranmu. Suara dan candamu mewarnai hari-hariku. Melihat cinta yang begitu tulus diantara kau dan kekasihmu itu. Aku berjanji besok akan bertanya padamu tentang kekasihmu itu.

Hari bersinar cerah. Ini menggembirakan aku. Karena aku yakin tidak akan ada halangan kau untuk datang bermain kerumahku. Aku sudah mempersiapkan sedikit roti agar kita bisa ngobrol panjang nanti. Semoga kau suka. Aku mulai gelisah saat matahari sudah sepenggelan tergelincir ke barat. Ah, masih ada waktu. Tenang. Hanya itu yang bisa aku lakukan. Terus menunggumu. Sampai akhirnya aku tertidur.

Plakkk…

Sebuah suara membangunkanku. Suara yang berasal dari jendela kamarku. Aku langsung bangkit dan melihat ke jendela.

“astaga, kau kenapa?”

Kulihat sayapmu terluka. Tapi kau masih sempat menyungingkan sebuah senyum. Langsung kau kubawa masuk ke kamarku. Dengan tergesa-gesa aku mengambil obat merah, perban dan air untuk membersihkan lukamu dengan kapas. Kau terlihat pasrah sambil sesekali membuka matamu. Aku memang bukan Sulaiman dengan mukjizatnya yang dapat berbicara dengan segala hewan. Tapi bolehkan kau memberi tahuku apa yang terjadi denganmu.

Saat itu tiba-tiba jutaan cahaya berpendar di kepalaku. Aku bagai melihat sebuah film dalam kepalaku. Aku terbang rendah dilangit melewati atap-atap rumah. Berbelok menghindari pohon. Sesekali terbang tinggi berteman awan. Lalu tiba-tiba aku menukik tajam saat melihat sebuah rumah. Aku sangat takut. Tapi disaat yang sama aku begitu penasaran. Saat aku semakin dekat dengan bumi, tiba-tiba mataku melihat sesosok yang sangat aku kenal. Itu kekasihmu. Dia berada dalam sangkar berwarna hijau dengan ukiran emas pada bagian atas sangkar dan pintunya. Iya, itu kekasihmu.

Tiba-tiba dalam kepalaku keluar suara yang aku juga sangat mengenalnya, itu suaramu tapi terdengar sangat nestapa. Kekasihmu yang disangkar itu mendengarnya. Ia langsung melihat ke arahku. Lalu aku mendekat ke pintu sangkar itu. Aku sepertinya mencoba membuka pintu sangkar dengan paruhku. Tapi tidak berhasil. Malah menimbulkan suara berisik. Sehingga tuan rumah itu terbangun. Melihat aku sedang berusaha membuka sangkar burungnya. Iya cepat-cepata mengambil sapu. Aku masih tidak peduli, aku terus mematuk-matukkan paruhku. Saat tiba-tiba aku melihat sebuah kayu menyambar sayap kiriku. Aku terluka. Tapi masih ingin membuka pintu sangkar itu. Lalu ku dengar suara kekasihmu. Sepertinya perintah untuk pergi. Lalu dengan sayap terluka itu aku terbang. Terbang sampai disebuah rumah yang tak asing bagiku. Ya, Itu rumahku. Aku melihat aku sedang tertidur di kamarku dan Plakkkk. Duaniakupun kembali.

Kau dengan matamu sudah membawaku melihat apa yang terjadi sampai akhirnya kau terluka. Kulihat kau masih memejamkan matamu. Tapi aku tahu kau masih bernafas. Dengan perlahan aku membalut lukamu. Air mata ikut membasahi pipiku. Setelah selesai dengan sayapmu. Aku mengambil roti yang telah aku siapkan untukmu.

“makanlah”

Sepertinya kau tidak sanggup untuk menggerakkan paruhmu. Maka akupun hanya memasukkan air putih saja ke paruhmu dengan sedotan. Biarlah kau pulihkan sayapmu.

Beberapa jam sekali aku melihat keadaanmu. Sepertinya kau tidur pulas. Mungkin sangat lelah. Kau berjuang untuk dapat bersama-sama dengan kekasihmu. Menghadang bahaya. Aku jadi teringat akan nasibku disini. Mungkin selama ini aku iri kepadamu. Karena aku tidak bisa berbuat sepertimu. Aku terpaksa harus berpisah dengan kekasihku. Tahu apa yang kulakukan? Aku hanya berdiam diri di kamarku dan memerima takdirku tanpa berbuat sesuatu. Lalu hanya menyimpan dirinya di dalam jiwaku. Namun saat ini kau membawa semangat baru padaku. semangat yang membuat hangat dalam dadaku yang membeku. Semangat yang membuat terang dalam gulita hatiku. Akupun tersenyum. Sambil kembali melihat keadaanmu. Masih tidur. Tapi, kepalamu tergolek tak biasa.

“jangan pergiiiiiiii….”

“bertahanlah….”

“aku akan membantu kau agar dapat kembali bersama kekasihmu”

“demi kekasihmu, bertahanlah”

Kau hanya diam. Ya, kau akhirnya menyerah dengan segala sakit dan perihnya. Aku tahu kedatanganmu di kamarku bukan tanpa tujuan. Aku akan menyelesaikan tugasmu. Tentunya setelah menguburkanmu. Tentu kau akan senang jika di kubur di samping rumaku di dekat pohon belimbing itu.

Keesokan hari aku sudah siap-siap untuk jalan. Aku masih ingat jalan yang dilewati teman merpatiku itu. Setelah mengenali beberapa bangunan dan pohon yang kemarin aku lewati. Sampailah aku pada rumah tujuanku. Setelah mengetuk pintu, keluarlah seorang pria. Aku mengenalnya. Dia yang kemarin memukul sayap merpati dengan kayu.

Setelah mempersilahkan aku duduk, aku pun langsung mengatakan maksud tujuan kedatanganku. Dia terlihat tidak senang.

“apa bisa saya melihat burung merpati bapak?”

“saya sebenarnya tidak suka sama merpati itu. Tapi anak saya yang kecil memaksa”

“tapi sepertinya adik terlambat datang kemari. Merpatinya sudah mati”

“mati?’

“iya, dia tidak mau makan. Mungkin itu penyebabnya”

***

Beberapa minggu setelah kematianmu. Aku pun menyusun rencana. Aku akan mencari lagi cintaku. Memperjuangkannya seperti dirimu. Menghadang segala onak durinya. Kalaupun aku harus habis. Aku habis dengan terhormat. Sebuah tulisan manis untumu sahabat merpati ku

Tuesday, March 18, 2008

Tentang Rasa

Aku disini menunggumu. Menunggu entah untuk apa. Hanya ingin terus bersamamu walau kau tidak di sampingku. Dengan rasa takut lebih sering menyelimuti tidur malamku. Berteman air mata yang tidak ternamakan. Semilir angin kenangan lebih sering membuat terjaga ketimbang melelapkan.

Cinta, maafkan aku yang membelenggumu dengan rasa ini. Memberikanmu sejuta harapan dalam buih lautan mimpi. Memberi segala kepastian yang aku sendiri tidak dapat memastikannya. Aku mengacaukan dirimu. Aku menjadikan dirimu hancur.

Bila yang kita punya hanya istana dari pasir, maka akan ku dorong ombak agar tidak mendekati bibir pantai. Akan ku usir angin menjauh.

Rasa apa lagi yang tidak kita bagi?

Sama sepertimu…

Maafkan aku yang terlalu bodoh menyadari bahwa ini akhirnya akan menyakitimu. Mungkin memberimu luka. Bangunkan aku cinta! Bangunkan! Bangunkan aku, agar aku sadar akulah yang bersalah kerena menyalakan api. Api yang menjalani takdirnya dengan membakar. Aku siap terbakar. Sungguh-sungguh siap. Tetapi aku tak akan memaafkan diriku bila kau ikut merasakan panasnya.

Kini malam menyepi dan bersandar dibebatuan. Wanginya senyap dan gelapnya menggiriskan. Itukah yang memaksa kita selalu berjaga? Bulan sepotong di beranda tersenyum tolol padaku. Bintang, lalu-lalang jalanan, seekor kelelawar yang bandel, secangkir kopi dan sepotong roti bakar rasa pisang berkarib pada malam yang lelah ini.

Aku pernah mengatakan bahwa ini bukan urusan kepemilikan, kau sepakat sekaligus tak bersepakat. Tetapi yang pasti aku bertindak tidak adil padamu. Sungguh tidak adil. Aku menyakitimu bahkan tanpa aku menyadarinya. Aku si pungguk yang memaksa bulan tinggal di bumi. Mendandaninya dengan kemanusian dan memasangkannya pada keriuhanku.


Disini dengan rasa itu, aku menunggumu...
Masih menungggu...
Dan terus menunggu...

Sunday, September 30, 2007

Kasih Tak Sampai

Selama ini hari-hari selalu diselimuti kabut cinta. Menyejukkan dan menentramkan jiwa. Saat kita bercerita atau diam menikmati gerak kehidupan. Terkadang kita tertawa atau menangis bersama dunia. Atau sekedar melanggar rambu di jalan yang kita lewati sambil mengacungkan jari tengah keatas. Atau bersetubuh dalam rimbun pepohonan dan sejuknya udara gunung. Atau bergelut dalam kesumpekan kereta api sambil menyeruput kopi hitam. Sangat indah. Dan ini membuatku tak ingin melepaskanmu. Aku ingin memilikimu. Hanya Aku. Seperti kau yang ingin memiliki diriku utuh.
Indah, terasa indah
Bila kita terbuai dalam alunan cinta
Sedapat mungkin terciptakan rasa
Keinginan saling memiliki
Cinta tidak harus memiliki. Begitulah perasaan ini harus berakhir. Setelah kita tidak menemukan lagi alasan yang paling bijaksana untuk menjelaskan segala situasi ini. Kau tetap jauh disana. Dan aku disini bagai pungguk merindukan bulan. Ikatan itu tidak pernah ada untuk kita. Kita hanya air dan daun talas. Berada dalam kebersamaan namun tidak pernah bisa bersatu.
namun bila itu semua dapat terwujud
dalam satu ikatan cinta
tak semudah seperti yang pernah terbayang
menyatukan perasaan kita
Bersamamu adalah waktu terindah. Kenangan terbaik. Dan doa-doa terpanjatkan dengan tulus. Air matapun mengalir penuh syukur. Kau yang sudah mengubah duniaku. Kau yang menarikku dari surga. Lalu menuntun aku berjalan di bumi ini. Bertelanjang kaki. Dan menikmati setiap tusukan kerikilnya. Panas tanahnya. Di bumi ini semua kebersamaan kita terjejak dan menjadi saksi. Bagai bintang yang mengindahi malam.
Tetaplah menjadi bintang dilangit
Agar cinta kita akan abadi
Biarlah sinarmu tetap menyinari alam ini
Agar menjadi saksi cinta kita...berdua
Hari-hari bagaikan pendaran cahaya kunang-kunang tanpa kau disisiku. Tiada senyum bintang atau tawa bulan. Takdir sudah kejam memisahkan kita. Aku tahu tidak dapat memutar kembali waktu. Namun aku tidak ingin berakhir seperti ini. Tapi bila ini yang harus terjadi. Aku ingin terus mencintaimu. Menjadikanmu kekasih didalam hatiku.
Sudah, lambat sudah
Ini semua harus berakhir
Mungkin inilah jalan terbaik
Dan kita mesti relakan kenyataan ini
Kau selalu hidup dalam hatiku. Terus menjadi matahari di siangku dan bulan di malamku. Kenangan bersamamulah yang menyelimuti tidur malamku. Suaramu terus bergema dalam jiwaku. Kau masih kekasihku.

NB: Thanks Padi buat liriknya

Tuesday, September 18, 2007

Tarrawih at Mesjid Raya

Ramadhan ke-4 adalah hari pertama aku berpuasa, setelah kemarin kedatangan tamu bulanan. Entah kenapa sudah 2 kali ramadhan ini aku punya kebiasaan aneh, yaitu lemas sesudah berbuka. Saat puasanya aku sanggup melek dan berkegiatan, namun setelah berbuka langsung ngantuk dan lemes badan semuanya. Padahal bila berbuka aku sangat normal. Berbuka dengan segelas air manis ditambah 2 atau 3 potong kue. Dan bila sudah lemas begini maka menjalar ke malas makan.

Karena puasa pertama, maka tarrawihnya pun pertama. DanMesjid Raya Baiturrahman (mesjid kebanggan ureung Atjeh) menjadi pilihan. Cuma Ingin merasakan aja keramaiannya dalam ramadhan ini. Dan selesai berbuka maka aku bersama seorang teman pergi menuju mesjid. Tidak begitu jauh dari rumahku, hanya 5 menit bila naik motor. Tapi karena ramai, maka butuh 15 menit untuk sampai dan mencari parkiran.

Aku masbuk (bener gak ya tulisannya) satu rakaat sholat isya. Lalu dilanjutkan dengan ceramah agama. Kali ini penceramah adalah Kapolda NAD. Aku tidak begitu mendengarkan apa yang diceranahkan, bukan apa-apa, aku lagi asyik duduk di luar (teras mesjid) tempat aku sholat. Aku sholat di teras karena di dalam sudah penuh. Saat itu udara dingin dan angin bertiup kencang. Ada pemandangan yang bikin aku betah disitu, adalah kawanan burung gereja (hah? burung gereja ada di mesjid? murthad tuh burung) hehehe... Karena angin yang kencang maka mereka berhamburan di udara. Indah banget dan kasihan juga lihatnya. Tanpa terasa ceramah selesai dan shalat tarrawihpun dimulai.

Shalat tarrawih yang kukerjakan adalah delapan rakaat, dengan empat kali salam. Terus aku lihat ada sebahagian orang tidak melanjutkan witir, mereka keluar. Aku lalu lanjut dengan tiga rakaat witir. Setelah selesai, ternyata ada gelombang kedua. Orang-orang yang keluar tadi masuk lagi untuk shalat tarawih lagi sampai 20 rakaat dengan diganti imam baru lagi. ternyata mesjid Raya cukup fair untuk menyelenggarakan shalat tarrawih dengan dua versi itu (8 dan 20 rakaat).

Betapa indahnya bila keragaman dan berbagai perbedaan bisa disikapi dengan lapang dada dan besar hati. Semoga semangat kebersamaan ini tetap bersemi sesudah ramadhan nanti. Dan Aceh tidak lagi menjadi daerah konflik yang berdarah-darah lagi. Apa lagi "mandi darah saudara-saudaranya sendiri". Amien.

ini beberapa foto yang sempat terekam kamera HP ku yang tidak seberapa ini













Ket Gambar:
1. Jamaah sholat sampai ke teras mesjid
2. Jamaah gelombang ke 2
3. Lalu lalang saat pulang

Monday, September 10, 2007

Sahabat

Sebuah tulisan yang kupersembahakan untukmu sahabatku (Jamilah)

“Aku ada cerita seru niy” ujarmu suatu sore saat aku dengan sengaja mampir ke tempat kerjamu. Kangen ngobrol dan berbagi berita denganmu.

Kau adalah sahabatku, sahabat yang saat pertama berjumpa sudah mencuri hatiku. Kepolosan, kejujuran serta kesederhanaanmu membuatku betah untuk berlama-lama ngobrol dan curhat denganmu, walau kita sadari masing-masing bahwa sifat kita sangat berbeda jauh. Tapi itulah yang membuat kita tetap menjadi sahabat hingga sekarang. Aku sudah mengganggapmu seperti saudaraku sendiri.

Kini kulihat sayap-sayapmu sudah melebar, mulai menampakkan keindahannya. Kepompong itu sudah pecah. Ulat itu kini telah berubah menjadi kupu-kupu yang indah. Dan tahukah kau betapa bahagianya aku. Ya saat kau menceritakan berbagai pengalamanmu padaku, aku bersyukur bisa mengenalmu dan ikut melihat kau berkembang. Kau yang pemalu sudah menjadi si percaya diri sekarang. Kau yang penakut sudah menjadi pemberani kini. Kau yang si pengikut sudah menjadi si penentu sekarang. Aku turut bahagia sobat. Sangat bahagia. Sekaligus iri, sangat iri. Karena aku sudah ketinggalan darimu.

Dahulu kau dibelakangku. Kau akan ikut kemanapun aku terbang. Karena kau terlalu takut untuk terbang sendirian. Lalu sedikit demi sedikit kau coba mencari jalanmu sendiri, mencoba terbang dengan kekuatan sayap-sayapmu. Ternyata terbang dengan keinginan sendiri lebih menyenangkan bukan? walau saat angin bertiup kencang kau sempat kehilangan arah. Dan kau tahu, aku ada untukmu. Begitu juga diriku terhadapmu.

Aku banyak belajar darimu tentang ketabahan dan kesabaran. Tentang kerja keras dan air mata. Seperti aku juga belajar darimu tentang keteguhan hati dan harga diri. Kulihat sayap-sayapmu mulai menemukan irama dalam kepakannya. Semakin dinamis dan indah. Bagai tarian saman yang anggun namun berenergi.

Kau mengatakan aku selalu lebih beruntung darimu. Tahukah sobat, kaulah yang lebih beruntung dariku. Kau kini bukan kupu-kupu taman lagi, namun kau kupu-kupu hutan. Pengetahuanmu tidak lagi terbatas pada taman yang telah disediakan, namun telah terbang ke dalam hutan dengan segala aneka macam tumbuhan. Kau bisa memilih memakan nektar dari bunga yang ada. Kau belajar memilih bunga mana yang baik dan tidak baik untuk dihisap sarinya. Dan kau juga lebih tangguh karena dihutan tentu lebih banyak musuh. Bertahan hidup dihutan tentu lebih sulit ketimbang di taman. Hi, aku sudah kemana-mana menceritakanmu.

Sahabat, bila umur kita panjang, aku ingin persahabatan ini tetap terjalin. Sampai kita tua. Kau akan menjadi salah satu ceritaku pada anak cucuku. Mereka akan belajar tentang persahabatan darimu. Dari kisah kita. Semoga.

Saturday, August 4, 2007

"...if the king only knews!"

Sejak ratusan tahun lalu, dari ujung Granada di selatan sampai Konstatinopel di timur. Angin yang berbisik membawakan pesan pedih, bercampur setengah harap : "...if the King only knews!".

Di dunia timur tak jauh beda. Pada gugusan pulau dari ujung Seram sampai Pasai, setiap doa yang dipanjatkan, selalu disisipi ratap keputusasaan: "...seandainya Baginda tahu!!"

Dulu, kromo di jaman jawa kerajaan mengenal istilah pepe. Yakni berjemur di alun-alun sebagai bentuk protes. Suatu tradisi perlawanan kromo terhadap raja, yang didasari ketidakpuasan atas kebijakan yang diambil kerajaan. Kromo yang tidak puas itu merebahkan diri di alun-alun, berjemur di bawah sinar matahari, dan rela diguyur hujan untuk memohon perhatian raja. Kromo akan tetap berjemur di antara ringin kurung (beringin kembar di alun-alun) sampai protesnya ditanggapi.

Bagaimana di Nusantara kontemporer? Nyaris tak berubah. Sekarang dan disini, dari pelosok dataran tandus Gunung Kidul sampai lautan lumpur Sidoarjo, semilir angin menenteng rintihan serta keluhan nestapa yang menyayat : "..seandainya tuan presiden tahu!". Ah, lalu berbondong-bondong dan berkerumun-kerumun nestapa diadukan.

Bayangkan suatu hari, ketika sedang nyeyak-nyeyaknya tidur tiba-tiba lumpur menyembur. Pertama hanya menggenangi sawah. Kemudian pekarangan, lalu perlahan masuk pelataran rumah. Sebulan berselang, masjid, kuburan, jalan desa sampai lapangan bola berubah menjadi genangan lumpur yang mengerikan. Hanya lumpur sejauh mata memandang, lumpur dan lumpur. Setahun berselang janji hanyalah janji.

Ya,
if the King only knews, seandainya baginda tahu atau seandainya tuan presiden tahu selalu menjadi mantra dan jalan keluar. King, Baginda atau Tuan Presiden dianggap orang-orang pilihan yang di tunjuk langsung oleh tuhan dengan membajak Vox populi vox dei. Pepe di jaman kontemporer?

Ah, demokrasi modern yang dikarbit disini bukankah telah menciptakan katup-katupnya sendiri?
Saluran disediakan, mekanisme di bakukan seperti coblosan yang menjadi jalan keluar. Realitas di remas dan di kemas oleh TV dan koran lengkap dengan manipulasinya. Selalu dan lagi-lagi kromo dirampok elitnya.

Jadi bila lumpur tetap menyembur? Bukan berati Tuan presiden tidak tahu derita rakyatnya. Juga bukan berarti ber
bondong-bondongnya jerit tangis yang diadukan tak didengar. Bukan, sekali kali bukan. Tuan Presiden kita tahu kok derita rakyatnya. Tak percaya? Buktinya ketika ketika rombongan diterima, Tuan Presiden kita menangis saking terharunya sambil menahan geram, "Saya akan turun gunung secepatnya" Hasilnya mujarab. Lumpur serta segala masalahnya tetap menyembur.

Ya, Raja, Baginda atau Tuan Presiden selalu dianggap menjadi si Apokalips
yang berhak memiliki keistimewaan, tentang sesuatu yang tersembunyi dari umat manusia pada umumnya. Dan dengan memaknai raja sebagai wakil tuhan yang pengasih dan maha penyayang arti kalimat "seandainya baginda tahu" atau "Seandainya tuan presiden tahu" dianggap menjadi harapan terakhir penyelamatan.

Dus , jadilah kromo selalu dibodohi dan dipaksa percaya. Seandainya raja atau tuan presiden tahu, dia pasti akan membebaskan nestapa rakyatnya dengan menghukum menteri-menterinya yang jahat. Tentu, termasuk menghukum menteri yang rajin menghibahkan puluhan ribu meter kubik lumpur tiap hari. Sayangnya, seperti biasa pertolongan raja tak kunjung datang. Tak ada yang mau mempercayai bahwa raja, baginda atau presiden telah melupakan mereka. Bahkan kromo juga tak tahu atau tak mau tahu justru bagindalah yang pertama mengkhianati rakyat. Baginda rajalah yang dengan penuh kesadaran membiarkan menteri, hulubalang, punggawa sampai kroco belo-nya menindas dan merampok untuk kepentingannya.

Jadi suara lirih yang di dendangkan dari Granada sampai Konstatinopel, dari Seram sampai Pasai dan dari Gunung Kidul sampai Sidoarjo haruslah dimaknai sebagai suara keabadian. Nyaris seabadi tuhan itu sendiri. Suara keabadian yang bahkan para rasulpun menyerah membujuk suara itu agar diam. Keluh di Hira atau teriakan di gumuk Golgota hanyalah penegasan atas kegagalan misinya.

Friday, August 3, 2007

Resep

Sore itu aku menemui seorang teman di apotik tempat tempatnya bekerja. Ada sedikit urusan dengannya. Apotik itu juga tempat dulu aku bekerja bersamanya. Saat itu sedang ramai dan aku memutuskan untuk menunggu saja dan membiarkanmu melayani pasien yang datang untuk menebus resepnya.

Saat itu ada sepasang orang tua yang sedang membawa anak berusia sekitar 3 tahun. Terlihat sang anak begitu lemah dipangkuan sang ayah. Lalu tiba-tiba ingatanku kembali kepada kejadian beberapa tahun lalu. Saat di sebuah koran diberitakan tentang kematian seorang bocah berumur sekitar tiga tahun (Khaerunisa) meninggal akibat muntaber.
Kematiannya menjadi fenomenal dikarenakan si bapak (Supriono) yang hanya berprofesi sebagai pemulung tidak bisa menyewa mobil jenazah dan membawa mayat si anak dengan menggendong dan menumpang di kereta rel listrik (KRL) jurusan Jakarta - Bogor dimana sang anak rencananya akan dimakamkan di Kampung Kramat, Bogor.

Sial baginya, Supriono dibawa ke Polsektro Tebet oleh penumpang KRL yang curiga. Ia pun dipaksa kembali ke RSCM untuk urusan autopsy. Di RSCM, Supriono menjelaskan bahwa Khaerunisa sudah empat hari terserang muntaber. Dia sudah membawa Khaerunisa untuk berobat ke Puskesmas Kecamatan Setiabudi. "Saya hanya sekali bawa Khaerunisa ke puskesmas, saya tidak punya uang untuk membawanya lagi ke puskesmas meski biaya hanya Rp 4.000,- saya hanya pemulung kardus, gelas dan botol plastik yang penghasilannya hanya Rp 10.000,- per hari". Ujar bapak 2 anak yang mengaku tinggal di kolong perlintasan rel KA di Cikini itu Supriono hanya bisa berharap Khaerunisa sembuh dengan sendirinya.

Selama sakit Khaerunisa terkadang masih mengikuti ayah dan kakaknya, Muriski Saleh (6 thn), untuk memulung kardus di Manggarai hingga Salemba,meski hanya terbaring digerobak ayahnya Karena tidak kuasa melawan penyakitnya, akhirnya Khaerunisa menghembuskan nafas terakhirnya pada Minggu (5/6/2005) pukul 07.00. Khaerunisa meninggal di depan sang ayah, dengan terbaring di dalam gerobak yang kotor itu, di sela-sela kardus yang bau. Tak ada siapa-siapa, kecuali sang bapak dan kakaknya.

Ya, hidup negara ini sudah begitu kejam. Jangankan untuk hidup, bahkan untuk matipun sulit. Kalau kau miskin maka jangan mati, karena kau akan bernasib sama seperti Khaerunisa nanti. Ternyata Negara ini belum berpihak kepada si miskin. Memberantas kemiskinan hanya omong kosong belaka, ternyata si miskin tetaplah miskin. Dan ini terjadi di negara yang beragama dan Pancasilais. Lalu dimana letak kemanusiaan?

Namun aku sepakat dengan Psikolog Sartono Mukadis untuk kasus Chaerunisa. "Peristiwa itu adalah dosa masyarakat yang seharusnya kita bertanggung jawab untuk mengurus jenazah Khaerunisa. Jangan bilang keluarga Supriono tidak memiliki KTP atau KK atau bahkan tempat tinggal dan alamat tetap. Ini merupakan tamparan untuk bangsa Indonesia".

Negara ini hanya mampu menyisihkan 2,6% dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) untuk kesehatan. Bandingkan bila dana BLBI 650 triliyun itu di gunakan untuk anggaran kesehatan. Anggaran yang mestinya untuk memerangi kemiskinan telah habis terkuras untuk membayar cicilan utang yang menurut data Koalisi Anti Utang (KAU) pada tahun ini mencapai Rp69,8 triliun. Padahal angka Rp69,8 triliun itu mestinya dapat memenuhi target anggaran minimal 20% untuk pendidikan, kesehatan dan bantuan bencana alam.

Lalu ditambah dengan program kesehatan yang tidak memihak si miskin seperti Supriono. Karena askses untuk mendapatkan pelayanan kesehatan masyarakat miskin mempunyai syarat-sayarat tertentu seperti KK, KTP dsb untuk mengurus surat keterangan miskin. Setelah itu barulah mereka dapat dilayani di pusat-pusat pelayanan kesehatan milik pemerintah. Sedang orang-orang seperti Supriono hidup di grobak dan berpindah-pindah jangankan KK, KTP pun tidak punya. Bagaimana caanya dia mendapatkan surat-surat tersebut? Maka bila dia tidak terdaftar menjadi salah satu warga dimanapun di negara ini maka akses untuk mendapat pelayanan kesehatan adalah mustahil. Sudahkah Negara ini berpihak kepada mereka?

Lalu aku tercenung melihat kedalam diriku. Apa yang sudah aku lakukan? Apakah aku harus menunggu negara pulih? Karena obat-obatan lama telah resisten dengan penyakit bangsa ini. Perlu resep baru yang lebih manjur agar keadilan menjadi keadilan yang merata. Tidak hanya berpihak kepada yang mampu tapi juga kepada yang tidak mampu.

Masih di ruang tunggu apotik tempat aku menunggu temanku. Aku memikirkan formulasi resep bagi orang-orang seperti Supriono. Aku rasa bila menunggu formulasi dari negara ini akan terlambat. Paling tidak akan mengorbankan Chairunisa-chairunisa yang lain.

Formulasi Resep ini kunamakan “Kesederhanaan”. Mulai dari hanya menggambil sesuai kebutuhan dan memberi sesuai kemampuan.

NB: tulis ini juga untuk memenuhi janji sebuah postingan tentang resep pavoritku. Dan ini resepnya. Resep yang coba terus kucicipi

Wednesday, August 1, 2007

Sial

Apakah kau pernah merasa bahwa hidupmu merupakan perpindahan dari satu kesialan ke kesialan yang lain? Bahwa hidupmu serasa diliputi kegelapan. Bahkan kau sudah dapat meramalkan masa depanmu sendiri dengan tepat, yaitu kau akan selalu "sial".
Mungkin saat kau merasa selalu sial bukanlah sesuatu perkara yang besar. Namun bagaimana saat orang yang berada di dekatmu merasa sial karena kehadiranmu? Apalagi meraka adalah orang-orang yang kau cintai. Seakan kau merasa sebuah kutukan keabadian menyinggapimu. Kau terkutuk. Kau membawa sial. Kehadiranmu musibah bagi yang lain.

Aku pernah merasakan itu. Sangat perih dan pedih. Bahkan suara hatiku seperti deruman suara pesawat berteriak sakit di jiwa. Coba mencari jawaban akan semua kesialan itu. Apakah benar aku sial? Kenapa Tuhan memberikan nasib ini kepadaku? Apa salahku sehingga didekatku mereka menjadi sial? Apakah benar hidupku akan terus sial? puluhan pertanyaan berputar dan berseliweran tak karuan dikepalaku.

Mencoba mencari jawaban yang ada malah rasa terpuruk. Perasaan merasa keberadaan diri ini menjadi sia-sia. Hanya dengan sebuah pernyataan-pernyataan ringan seorang teman mungkin, atau orang tua, atau saudara, atau malah kekasih. Bagi mereka yang mengucapkan mungkin terasa ringan. Namun bagi jiwa yang memikulnya. Beban itu terasa sangat berat. Seberat dunia dan seluruh isinya.

Tapi kau jangan khawatir, ini adalah perasaan-perasaan orang yang dengan sebuah pernyataan kemudian mendramatisir abis semuanya.

"Kenapa ya, kalau ada kamu kita selalu sial?" atau
" Hidupmu memang membawa sial keluarga ini" atau
" Selama aku berhubungan dengan kamu, aku selalu dirundung sial"

Pernah mendengar perkataan seperti itu? atau yang sejenisnya? atau kau sendiri pernah mengucapkannya untuk seorang teman, adik, kakak, atau pacarmu sendiri?

Kalau kau pernah dituduh sebagai pembawa sial. Yakinlah, kau hanya jadi kambing hitam dari kesialan orang tersebut. Kalaupun suatu musibah menimpa seseorang dikarenakan kesilapanmu. Yakinlah, kau hanya perantara dari kehendakNya.

Yang harus kau lakukan pertama-pertama sekali adalah jangan mendramatisir keadaan sehingga kau menggambil tempat di sudut yang sengaja di sediakan oleh orang yang mengatakan kau sial. Anggaplah bahwa dia hanya butuh seseorang yang dijadikan tumbal untuk kegagalan didirnya sendiri, dan kau orang yang terpilih itu karena kau berada tepat disaat yang tidak tepat. So, kau bukan si pembawa sial.

Kalau kesialan orang tersebut berhubungan denganmu dikarenakan kesilapanmu, maka cepat-cepatlah minta maaf. Namun tetaplah berfikir proporsional. Seperti mengganti kata-kata sial dengan musibah, agaknya bisa sedikit meringankan. Kau manusia bukan Nabi apalagi Tuhan yang tidak pernah berbuat salah. Kesalahan hal yang lumrah, manusiawi, namun jangan menjadikan ini alasan untuk terus berada dalam kesalahan. Teruslah belajar dan memperbaiki diri. Dan ingat mungkin melalui dirimu Tuhan lagi mengetes orang lain. Jadi tetap berfikir positif ya. kesalahanmu bila dimafaatkan dengan benar untuk orang lain akan menjadi nilai lebih buat dirinya, Dan saat kau dapat menyikapi ini dengan baik pula maka kau akan lebih baik dalam

Tapi bagaimana kalau " pembawa sial" itu sering diucapkan orang-orang untukmu? hhhmmmm... Kayaknya harus mulai dipikirkan kalau kau mungkin benar-benar membawa sial. Wkakakakakaka...becanda...becanda...

Kupikir, sekali atau seribu kali sama saja kalau kau mulai mendramatisir keadaan dan mengambil tempat di sudut untuk memposisikan dirimu. Mulailah dengan tidak terlalu sensitif dan mengerti mereka dengan menganggap apa yang mereka katakan hanya pelarian dari ketidak mampuan diri mereka sendiri. Karena Apa yang menimpa diri kita sejatinya adalah buah dari perbuatan kita sendiri. Tidaklah logis saat kau melakukan kejahatan maka orang lain yang kena getah dari pohon kejahatan yang kau lakukan, begitu juga sebaliknya.

Dan bagi kalian yang telah mengatakan "kau membawa sial" kepada orang lain. mulailah untuk menjaga mulut kalian. karena itu perkataan menyakitkan. Baik kau bercanda apalagi serius mengatakannya. Terima dengan besar hati ketidak mampuan dirimu, agar di lain waktu bisa memperbaikinya. Dan minta maaflah pada orang yang kalian sakiti. Karena seperti yang kukatakan "mengucapkan mungkin terasa ringan. Namun bagi jiwa yang memikulnya. Beban itu terasa sangat berat. Seberat dunia dan seluruh isinya".

Saturday, June 30, 2007

Juli di bulan Juni

Aku lahir dibulan Juli, tapi Juni adalah bulan yang yang penuh kenangan bagiku. Akulah Juli di bulan Juni. Banyak tawa dan air mata yang datang silih berganti, tak ada seharipun yang dilewati dengan kehampaan. Penuh warna, tak hanya hitam dan putih saja. Juli melihat banyak pelangi di bulan Juni. Di bulan Juni, Juli banyak belajar tentang kehidupan. Belajar dari melihat, merasakan, memahami dan akan terus belajar.

Banyak cerita di bulan Juni. Dari butanya akan dunia sampai mulai melangkah menuju cahaya. Ke-Juni-an lah yang mengajarkan Juli untuk tetap hidup dalam setiap bulannya. Junilah yang membuat hari-hari Juli terasa lebih indah. Kenangan Juni membuat hari-hari Juli menjadi lebih berarti.

Juni pernah berkata kepada Juli "Lawan rasa takutmu...hadapi..hadapi..."

Dari Juni, Juli belajar bahwa dunia bukan hanya melihat bintang bulan dan matahari saja. Tetapi dari dunia juga terlihat hamparan karpet lusuh kelaparan dan kemiskinan serta ketidak adilan. Ya, dunia terdiri dari gunung-gunung tangis dan jerit kesakitan. Dunia adalah pahitnya buah dari pohon nasib dan kumpulan kemelaratan dari sungai penjajahan yang kekal.

Juni pernah menunjukkan kepada Juli bahwa terkadang batas surga dan neraka hanya terpisahkan oleh setipis tembok atau segaris pembatas jalan. Juni juga sering memperlihatkan air mata dukanya kepada Juli, saat melihat sebagian anak yang bermain di pusat hiburan dituntun oleh seorang perawat cantik, menggunakan kereta dorong bersama orang tuannya yang berjalan angkuh. Sementara disebelah dinding lainnya, ada anak-anak yang dengan telanjang kaki sedang berjuang untuk hidup. Menjajakan minuman dingin demi dapat makan hari ini tanpa pernah tahu siapa orang tuanya.

Seringkali Juni tersenyum sinis kepada Juli. Senyum itu seakan-akan berkata, "bukankah duniamu berada dibelahan dunia si anak penjual minuman itu?"
Lalu, Juni hanya tertunduk dengan ekspresi muka yang bercampur baur.

Juli banyak diam saat Juni memperlihatkan bahwa sebenarnya segala fasilitas yang ditawarkan para kapitalis itu bukanlah kebutuhan yang benar-benar Juli butuhkan. Demi kertas toilet untuk membersihkan kemaluan dan lubang anus atau tissue untuk pembersih kotoran dari topeng-topeng yang dikenakan si kaya, berapa banyak pohon yang ditebang? Yang mengakibatkan longsor dan menimbun rumah para penduduk yang tidak pernah mengecap lembutnya kertas toilet dan tissue. Karena mereka selamanya telah mencukupkan diri menggunakan air untuk cebok dan menggunakan kain untuk nge-lapnya. Demi memberikan kenyamanan pada si kaya saat berada di Mall, Cafe atau Restauran berapa banyak energi yang dibutuhkan lalu mengakibatkan pemanasan global? Sedang saat pemanasan global itu terjadi bukan hanya si kaya yang terkena efeknya, tapi si miskinpun terkena getah nangka yang tidak pernah dia kecap manisnya.

Juli kembali terdiam. Entahlah, Juni seakan tidak perduli apakah Juli paham atau tidak. Bagi Juni inilah dunia, baik Juli paham atau tidak, baik juli tahu atau tak mau tahu.
Tapi apakah Juli seonggok batu tanpa perasaan?

Kenyamanan hidup telah membuat urat-urat kepedulian sosial Juli resisten terhadap kejadian di sekitarnya. Sebuah jentikan jari Juni semoga bisa menyadarkan Juli dari mimpi panjang tentang "dunianya". Dunia yang berisi kenyamanan dan ketersediaan segala kebutuhannya.

Juni berharap, sekarang Juli paling tidak sadar bahwa saat menggunakan tisseu untuk membersihkan wajahnya dibagian gunung sana sebuah pohon telah berkorban untuk ditebang. Sadar saat Juli menggunakan lampu listrik dirumah, efek pemanasan global juga terkena pada yang tidak pernah merasakan terangnya malam berlampukan listrik.

Juli...
Juni banyak menitipkan harapan padamu

Jentikan Juni...
Semoga tidak menjadi tamparan.

Pelangi...
Kini warnamu tampak lebih indah dari biasanya dimata Juli.