Friday, May 25, 2007

Pesan Perlawanan dalam Tarian Aceh; Rapai Geleng

Tahu tarian Saman? Seudati? Iya benar. Itu adalah tarian khas Aceh yang sudah sangat terkenal di nusantara bahkan di dunia. Kali ini saya bukan sedang ingin membahas tentang Tari Saman atau Seudati yang sudah termasyur itu. Tapi saya ingin bercerita kepada semua tentang tari Rapai Geleng (adiknya tari Saman dan Seudati). Tari Rapai Geleng adalah seni tari berupa gerakan badan dipadukan dengan suara dan gerakan tangan,kepala dan anggota tubuh lainnya, dibawakan oleh 16 orang penari laki-laki dan 1 orang syekh. Rapai hampir sama dengan beduk akan tetapi bentuknya kecil dan sanggup diangkat dengan sebelah tangan persis sama dengan rebana akan tetapi dia agak sedikit tebal dan suaranya sangat besar. Saya tidak membahas tentang bagaimana tarian itu dibawakan atau diperagakan, tetapi saya ingin mmbahasa filosofi yang terdapat dalam tarian tersebut.

Teman saya menyebutnya : Pesan Perlawanan dalam Tarian Aceh; Rapai Geleng

Alhamdulilah Pujo Keu Tuhan. Nyang Peujeut Alam Langet Ngon Donya. Teuma Seulaweut Ateuh Janjongan. Panghulee Alam Rasul Ambiya

(Segala Puji kepada Tuhan. Yang telah menciptakan langit dan dunia. Selawat dan salam pada junjungan. Penghulu alam Rasul Ambiya)

Nanggroe Aceh nyo Tempat loun lahee. Bak Ujoung Pantee Pulo Sumatra. Dilee Baroo. Kon Lam jaro Kaphe. Jino Hana Lee Aman Sentosa

(Daerah Aceh ini Tempat lahirku. Di ujung pantai pulau Sumatera. Dulu berada di tangan penjajah. Kini telah aman dan sentosa)

Sederet syair yang dilantunkan kolosal sebelasan pria berkostum hitam kuning berpadu manik-manik merah, serempak menggeprak panggung dengan duduk bersimpuh menabuh rapa-i (rebana khas Aceh terbuat dari kulit kambing betina) dengan ritme teratur. Tiba-tiba, tetabuhan yang tadinya berirama satu-satu, lambat, berubah cepat di iringi dengan gerak tubuh yang masih berposisi duduk bersimpuh, meliuk ke kiri dan ke kanan. Itu tak cukup, gerakan cepat kian lama kian bertambah cepat. Bunyi tetabuhan rapa-i begitu dahsyat menghantam sesuatu paling dalam di jiwa, menggeser kepongahan, menghadirkan ketakjuban. Tak lama, dalam satu hentakan, seluruh gerak dan bunyi tadi tiba-tiba lenyap, hening, dan diam. Ada getar magis sesaat tetabuhan dan seluruh gerak sebelasan pria muda tadi berganti hening dan diam. Setidaknya itu kesan sepintas saat menyaksikan langsung pagelaran tarian Rapa-i geleng –tari tradisional Aceh-, kapanpun dan dimanapun. Namun sesungguhnya ada getar lain yang maha dahsyat ketika kita memahami seluruh ritme gerak tarian negeri seribu konflik itu. Pada dasarnya, ritme gerak pada tarian rapa-i geleng hanya terdiri dalam empat tingkatan; lambat, cepat, sangat cepat dan diam. Keempat tingkatan gerak tersebut merupakan miniatur karakteristik masyarakat yang mendiami posisi paling ujung pulau Sumatera, berisikan pesan-pesan pola perlawanan terhadap segala bentuk penyerangan pada eksistensi kehidupan Agama, politik, sosial dan budaya mereka. Pada gerakan lambat, ritme gerakan tarian rapa-i geleng tersebut coba memberi pesan semua tindakan yang diambil mesti diawali dengan proses pemikiran yang matang, penyamaan persepsi dan kesadaran terhadap persoalan yang akan timbul di depan sebagai akibat dari keputusan yang diambil merupakan sesuatu yang harus dipertimbangkan dengan seksama. Maaf dan permakluman terhadap sebuah kesalahan adalah sesuatu yang mesti di berikan bagi siapa saja yang melakukan kesalahan. Pesan dari gerak beritme lambat itu juga biasanya diiringi dengan syair-syair tertentu yang dianalogikan dalam bentuk-bentuk tertentu. Sebagai contoh bisa tergambar dari nukilan syair dari salah satu bagian tarian;

Meu nyo ka hana raseuki, yang bak bibi roh u lua. Bek susah sare bek sedeh hatee, tapie kee laen ta mita.

(Kalau sudah tak ada rezeki, yang sudah di bibirpun jatuh ke luar jangan lah susah, jangalah bersedih hati, mari kita pikirkan yang lain untuk di cari)

Kata “raseuki” yang bermakna “rezeki” dalam syair di atas, merupakan simbol dari peruntungan. Bagi masyarakat Aceh, orang yang melakukan perbuatan baik kepada mereka dimaknakan sebagai sebuah keberuntungan. makna sebaliknya, ketika orang melakukan perbuatan jahat, maka masyarakat Aceh mengartikan ketakberuntungan nasib mereka, dan ketakberuntungan itu merupakan permaafan. Gerakan beritme Cepat adalah gerak kedua, sesaat pesan yang terkandung dalam gerakan beritme lambat namun sarat makna usai dituturkan. Pada gerakan ini, pesan yang disampaikan adalah pesan penyikapan ketika perbuatan jahat, yang dimaknakan sebagai ketakberuntungan nasib, kembali dilakukan oleh orang atau institusi yang sama. Penyikapan tersebut bisa dilakukan dalam bentuk apapun, tapi masih sebatas protes keras belaka. Seperti bunyi syair di bawah;

Hai Laot sa, ilak ombak meu Aloun kapai die eik troun meu lumba Lumba hai bacut teuk, salah bukon sa Lah loun salah mu, lah poun awai bak gata

(Wahai Laut yang berombak mengayunkan kapal naik dan turun sedikit lagi kemasukan air, itu bukan salah ku, engkaulah yang mengawalinya)

Gerakan beritme cepat ini tak lama. Segera disusul dengan gerakan tari beritme sangat cepat mengisyaratkan chaos menjadi pilihan dalam pola perlawanan tingkat ketiga. Sebuah perlawanan disaat protes keras tak diambil peduli. Tetabuhan rapa-i pada gerakan beritme sangat cepat inipun seakan menjadi tetabuhan perang yang menghentak, menghantam seluruh nadi, membungkus syair menjadi pesan yang mewajibkan perlawanan dalam bentuk apapun ketika harkat dan martabat bangsa terinjak-injak. Cuplikan sajak “perang” nya “maskirbi” yang biasa dilantunkan menjadi syair dalam gerakan beritme cepat pada tarian rapa-i geleng ini bisa menjadi contoh sederetan syair-syair yang dijadikan pesan.

Doda idi hai doda idang. Geulayang balang ka putoh talo. Beureujang rayeuk banta siding. Jak tulong prang musoh nanggro

(doda idi hai doda idang –nyanyian nina bobo untuk anak- layangan sawah telah putus talinya cepatlah besar wahai ananda pergilah, perangi musuh negeri)

Pada titiknya, tiba-tiba semua gerakan tadi berhenti seketika, termasuk seluruh nyanyian syair sarat makna. Semua menjadi bisu, hening dan diam. Ini merupakan gerakan akhir dari tarian. Gerakan diam merupakan gerakan yang melambangkan ketegasan, habisnya semua proses interaksi. Bagi orang Aceh, gerak diam adalah gerak perlawanan abadi, di sana tak adalagi musuh, di sana tak adalagi teman. (sumber: Mandis-M Andi Sabri Kasturi-Arie)

Sebegitu kuatnya makna yang terkandung dalam tarian aceh ini. Namun sayang. Ketika tari tradisional Aceh diperkembangkan lebih jauh, banyak pakem dasar yang dilupakan atau ditinggalkan oleh para koregrafernya. Tari tradisi Aceh pun berubah menjadi tari kreasi baru, dengan pulasan keacehan ala kadarnya. Hanya demi “kepentingan” dan ambisi palsu koreografer tanpa terlebih dahulu mengetahui latar belakang atau filosofi yang terkandung di dalamnya. Para koreografer hanya berpatokan pada grafik ritmis setiap tari Aceh -- lambat, sedang, dan cepat -- yang sering mereka katakan “ruh” tari Aceh. Gerak dinamis khas tari Aceh jadi “terbongkar”.

Wednesday, May 23, 2007

H u R u F

Setelah beberapa saat disibukkan dengan cinta dan lalu aku menuangkannya dalam sebuah posting. Kini perhatianku tertuju pada “huruf”. Setelah membaca kembali tulisan-tulisanku diblog ini, terlihat sangat amburadul dan begitu jorok. Jorok dari segi teknik menulis. Mulai dari tanda baca, huruf, spell dll.
Aku teringat pada kata-kata temanku tentang apa itu menulis.Bintang Matahari (5/18/2007 2:28:54 AM): sebagai sebuah huruf yang dirangkai menjadi kata dan membentuk kalimat, itu sangat bermakna, dalam, dan menyentuh...

Tapi kata-kata berikutnya membuatku menjadi tersadar apa arti menulis itu sendiri. Menulis bukan hanya sekedar merangkai huruf-huruf yang kemudian tersusun menjadi kata dan kemudian membentuk kalimat, baik bermakna atau tidak sama sekali. Tetapi pada apakah tulisan-tulisan itu telah teraplikasi dalam kehidupan kita.

Kamu pasti kenalkan Khalil Gibran? dalam Sayap-sayap patah, The Prophet, Si Gila, dll. Khusus dalam Sayap-sayap Patah rangkaian katanya dahsyattttt…sangat dahsyatttttttttt dan mungkin tak tertandingi. Tapi masalahanya kupikir, that's just a word, nggak lebih. Kenapa? bahkan sampai ketika dia mati pun, dia selalu gagal dalam urusan cinta. Tidak seperti apa yang di tulisnya. So kupikir ini bukan berhenti semata-mata pada keahlian teknis menulis. Tetapi bagaimana tulisan tersebut adalah pandangan, ide bahkan kalau perlu itulah sikap hidup. Jangan dipisah, bahwa tulisan itu haruslah di jiwai dengan apa yang terjadi dan menjadikannya...dengan kata lain, jangan hanya berhenti pada titik menulis atau berpikir saja, but...buatlah kaki untuk tulisanmu. Biar dia bisa benar-benar melangkah dibumi dengan segala macam carut marutnya ini.

Begitu kata temanku suatu hari, saat itu aku merasa kesulitan dalam merangkai huruf menjadi kata, kemudian menjadi kalimat dan membentuk sebuah tulisan. Ya…dan aku sepakat untuk ini. Tulisan menurutku juga jangan hanya berhenti pada teknis menulis atau pemikiran saja. Tapi juga harus diusahakan menjejak dibumi alias aplikatif.

Dan yang bikin aku nyengir saat dia mengatakan untuk sebelum mengedit contents dari tulisanku sebaiknya aku mengedit dahulu tulisanku dengan hal-hal teknis, karena tulisan sebagus apapun, kalau nulisnya jorok akan kehilangan keindahnya. hi… dan kali inipun aku sepakat dengannya. Memang aku akui kalau teknik menulisku masih buruk. Tapi terus dalam tahap perbaikan. Terus belajar. Dan tak hanya itu, aku juga ingin dia tidak hanya menjadi makhluk mati. Kupikir tulisan juga mahkluk organis yang tumbuh dan bisa menjadi dewasa.

Saat menulis ini, aku menemukan salah satu puisi karya Pramoedya Ananta Toer yang berjudul sama dengan judul post ini. Berikut kutulis ulang buat yang membaca post ini sebagai penutup dari tulisanku ini.

HURUF

Wahai huruf,
Bertahun kupelajari engkau,
Kucari faedah dan artimu,
Kudekati kau saban hari,
Saban aku jaga,
Kutatap dikau dengan pengharapan,
Pengharapan yang tidak jauh
Dari hendak ingin dapat dan tahu.

Tetapi; kecewa hatiku.
Kupergunakan kamu
Menjadi senjata dialam kanan,
Agaknya belum juga berfaedah
Seperti yang kuhendakkan.
Selalu dikau kususun rapi
Di atas kertas pengharapan yang maha tinggi,

Tetapi …
Bilalah aku diliputi asap kemenyan sari,
Tak kuasa aku menyusun kamu
Hingga susunan itu dapat dirasakan pula
Oleh segenap dunia
Sebagai yang kurasa pada waktu itu.

Alangkah akan tinggi ucapan
Terima kasihku, bilalah kamu
Menjadi bukuterbuka,
Bagi manusia yang membacanya.

Kalaulah aku direndam lautan api,
Hendaklah kamu merendam pembacamu,
Bilalah aku disendu pilu,
Hendaklah kamu merana dalam hatinya.

Huruf, huruf….
Apalah nian sebabnya maka kamu
Belum tahu akan maksudku?

Pramoedya Ananta Toer
Sadar No.5 th. II,
10 januari 1947

Tuesday, May 22, 2007

Panggung

Kawan, jika kau duduk sambil memeluk lutut di perempatan sibuk ini, sementara mata yang menerawang lalu lalang nyalang hanya menangkap suwung, kau akan tahu bagaimana perasaan yang membuncah ruah di hati. Ada penat yang sumeleh, ada riang yang getir dan ada kengerian akan beranjak kemana kota ini dengan segala hiruk-pikuknya.

Ya, aku disini selalu gelisah kawan. Gelisah menunggui waktu yang alpa menjemput janji-Nya memenangkan si papa.

Disini adalah Jakarta, kota lupa diri yang gedung-gedung tingginya dibangun atas amnesia kolektif warganya plus segala simbol-simbol kemakmuran dan kejumawaan modalnya. Sementara perempatan-perempatannya selalu setia menegasikan simbol-simbol dan memilih menjadi potret yang hitam putih apa adanya.

Lihatlah lampu trafict yang menyala bergilir-gilir itu, dari merah, kuning kemudian hijau seolah menjadi penanda pertunjukan purba. Ada perjuangan, ada pecundang, ada aturan rimba yang dibudayakan dan ada darah serta air mata yang menetes-netes mencari tempat berpijak.

Pandanglah ketika lampu beranjak merah kawan! Jendela-jendela mewah keegoisan diketuk dengan nyanyian sumbang. Tubuh yang dibuai sejuknya pengatur suhu dan telinga yang dimanjakan oleh kenyamanan stereo atau mata yang terbiasa di disuguhi keteraturan dipaksa bersirobok dengan teriak penjaja koran, mata memelas pengamen buntung atau senyum mesum banci yang nanggung, mereka mengungkap satu hal. Penggugatan terhadap hak yang diabaikan penguasa.

Tetapi kawan, seperti kamu bilang mengutip sepenggal sajak Ho Chi Minh, "Pertandingan di mana-mana, satu harus menang, dan yang lain harus kalah" Ada pemenang dan ada pecundang begitu vonis sang takdir. Tak ada yang berubah.
Mungkin jendela itu mengintip sedikit, setipis uang logam -memang hanya untuk itu jendela mengintip- dan menutup tergesa meninggalkan denting logam yang mengadu aspal. Sisanya adalah asap dari knalpot berebut menyergap ketika kau memungutnya.
Kawan, jika kau duduk sambil memeluk lutut di perempatan sibuk ini, sementara mata menerawang lalu lalang yang nyalang menangkap suwung. Keherananku mungkin sama dengan Abu Dzar saat ia berkata, “Saya heran melihat mereka yang hidup kelaparan, tetapi tidak membawa pedang-pedang mereka dan mendatangi orang-orang kaya itu untuk mengambil harta mereka.”

Ya, Abu Dzar benar, pedang-pedang itu telah disarungkan dan dijinakan dengan segala dogma. Jakarta yang bebal memang tumbuh bersama nafsunya yang paling jorok dan menumpulkan. Tak aneh bila dia menjadi etalase dari negeri anomali yang malas berfikir akan keadilan. Keadilan bagi Jakarta dan negerinya adalah kosa kata yang hanya kencang di gedung-gedung untuk diperdebatkan dan terdengar sayup-sayup ketika sampai di perempatan. Disana pertanyaan yang berebut menghantui bukanlah besok makan apa? Tetapi , besok apa makan? Begitulah di ulang setiap harinya.

Ah, ini hanya soal tentang bagaimana memperpanjang nafas sampai besok. Dan nafas penyambung itulah yang dipertaruhkan di perempatan-perempatan dengan mengkais dan memungut. Ya, tak pernah menjadi MEREBUT !!

Benar, Jakarta adalah ironi, pengkhianatan dan srigala yang siap menelan siapa saja yang menolak dan mengguncang kemandekannya. Bahkan jauh sebelumnya, orang-orang seperti Pieter Erberveld dan Raden Kartadria-pun harus takluk ketika berencana makar terhadap VOC di pergantian tahun 1740. Meede, putri Pieter yang cantik, yang kasmaran pada opsir gantheng VOC memilih membocorkan rencana ayahnya pada kekasihnya.

Dan pesan penguasa kepada para pembangkang jelas setelah itu,
"Kepada Pieter Erberveld, warga kota, lahir di Batavia dari bapak seorang berkulit putih dan ibu berkulit hitam berusia 58 atau 59 tahun. Erberveld dan sekutunya Raden Kartadria hukumannya masing-masing diikat pada sebuah kayu salib. Tangan mereka masing-masing akan dipotong, lengan, kaki dan dada mereka akan dijepit dengan jepitan panas sampai kepingan-kepingan daging mereka terkelupas. Badan mereka kemudian akan dirobek dari bawah hingga atas, dan jantung mereka akan dilemparkan kemukanya. Setelah itu kepala mereka akan dipenggal dan dipasang pada tiang. Badan mereka yang telah berkeping-keping dibiarkan dimakan unggas"

Kisah lain menyebutkan kengerian yang sama untuk menghukum para pembangkang, bahwa tangan dan kaki Pieter diikat pada empat ekor kuda yang saling berlari kearah berlawanan. Ya, hingga tubuhnya terbelah empat.

Lalu sebuah monumen berbentuk tembok dan bercat putih diatasnya terpasang sebuah tengkorak manusia terbuat dari gips. Monumen itu tertulis : ''Sebagai kenang-kenangan yang menjijikkan akan penghianatan Erberveld ...... .'' Begitu dendamnya VOC pada Pieter, hingga siapapun melewati monumen itu boleh untuk mengencinginya.
Kini gambaran kisah tragis Pieter Erberveld menjadi nyata dalam keseharian, monumen-monumen pasar itu selalu mengencingi kemanusiaan kita. Siapa yang tak mendengar teriakan sumbang mereka di jalanan ketika suaranya menembus pekatnya awan berkarbon langit Jakarta? Semuanya mendengar, bahkan tembok-tembok jalanan, Ciliwung yang kotor sampai istana yang resik toh tetap sibuk dengan urusannya masing-masing, dan nyanyi itu pelan melenyap di telan sunyi.

Kawan, aku mendengar nyanyi sunyi tak lagi sesunyi yang di bayangkan Pram. Semua menjadi riuh dengan gemuruh yang memekakan dan berderap sigap menyongsong mimpi Kalabendu yang diangankan Ranggawarsita.
Ya, Jakarta sebagai panggung telah menyiapkan dirinya menjadi potret yang gagal dan absurd bagi keadilan. Dalam imajinasi manusianya, Jakarta bisa dan telah berarti apa saja. Sorga atau neraka, tumpukan sampah atau modal, semua hanya masalah seberapa yang kau punya untuk jalan kesana. Batas-batas telah dikemas menjadi setipis kulit ari dan mati bersama artinya. Selebihnya adalah horor yang menyergap dalam setiap fragmennya. Kematian dan kehidupan tak pernah mengajarkan sesuatupun selain pahit dan getir. Ya, Jakarta oleh semua telah menjadi rimba ‘the end justifies the means’. Dan Jakarta memang cabo.

Di layar tv orang tua berwajah ceria, berbangga untuk sebuah iklan, "Jakarta terapung, Jakarta punya monorel. Oke.. "

Entahlah, tiba-tiba dibenakku teringat cerita seorang kawan dari pinggiran Banjir Kanal tentang rumahnya, "Disepanjang bantaran kali itu, berderet-deret rumah saya dan senasib saya, tidak mirip rumah sebetulnya karena kalau di kampung tempat seperti itu lebih mirip kandang kambing. Atapnya plastik, sobekan terpal, atau rongsokan seng yang kadang kalau angin bertiup sedikit kencang saja semua berhamburan terbang. Dindingnya sama saja, sakketemune, kardus bekas TV, patahan papan atau apa saja asal bisa buat penghalang angin. Dan yang paling bikin saya ngenes adalah bila hujan, sejam saja hujan turun, rumah kami berubah menjadi kali. Seringkali saya merasa ikan sapu-sapu mungkin lebih beruntung dibanding kami. Tetapi, bagaimana lagi? Hanya disanalah saya menjalani hidup sebagai manusia. Dari hari kehari membangun harapan dan menyemai mimpi. Entah sampai kapan?"