Saturday, August 4, 2007

"...if the king only knews!"

Sejak ratusan tahun lalu, dari ujung Granada di selatan sampai Konstatinopel di timur. Angin yang berbisik membawakan pesan pedih, bercampur setengah harap : "...if the King only knews!".

Di dunia timur tak jauh beda. Pada gugusan pulau dari ujung Seram sampai Pasai, setiap doa yang dipanjatkan, selalu disisipi ratap keputusasaan: "...seandainya Baginda tahu!!"

Dulu, kromo di jaman jawa kerajaan mengenal istilah pepe. Yakni berjemur di alun-alun sebagai bentuk protes. Suatu tradisi perlawanan kromo terhadap raja, yang didasari ketidakpuasan atas kebijakan yang diambil kerajaan. Kromo yang tidak puas itu merebahkan diri di alun-alun, berjemur di bawah sinar matahari, dan rela diguyur hujan untuk memohon perhatian raja. Kromo akan tetap berjemur di antara ringin kurung (beringin kembar di alun-alun) sampai protesnya ditanggapi.

Bagaimana di Nusantara kontemporer? Nyaris tak berubah. Sekarang dan disini, dari pelosok dataran tandus Gunung Kidul sampai lautan lumpur Sidoarjo, semilir angin menenteng rintihan serta keluhan nestapa yang menyayat : "..seandainya tuan presiden tahu!". Ah, lalu berbondong-bondong dan berkerumun-kerumun nestapa diadukan.

Bayangkan suatu hari, ketika sedang nyeyak-nyeyaknya tidur tiba-tiba lumpur menyembur. Pertama hanya menggenangi sawah. Kemudian pekarangan, lalu perlahan masuk pelataran rumah. Sebulan berselang, masjid, kuburan, jalan desa sampai lapangan bola berubah menjadi genangan lumpur yang mengerikan. Hanya lumpur sejauh mata memandang, lumpur dan lumpur. Setahun berselang janji hanyalah janji.

Ya,
if the King only knews, seandainya baginda tahu atau seandainya tuan presiden tahu selalu menjadi mantra dan jalan keluar. King, Baginda atau Tuan Presiden dianggap orang-orang pilihan yang di tunjuk langsung oleh tuhan dengan membajak Vox populi vox dei. Pepe di jaman kontemporer?

Ah, demokrasi modern yang dikarbit disini bukankah telah menciptakan katup-katupnya sendiri?
Saluran disediakan, mekanisme di bakukan seperti coblosan yang menjadi jalan keluar. Realitas di remas dan di kemas oleh TV dan koran lengkap dengan manipulasinya. Selalu dan lagi-lagi kromo dirampok elitnya.

Jadi bila lumpur tetap menyembur? Bukan berati Tuan presiden tidak tahu derita rakyatnya. Juga bukan berarti ber
bondong-bondongnya jerit tangis yang diadukan tak didengar. Bukan, sekali kali bukan. Tuan Presiden kita tahu kok derita rakyatnya. Tak percaya? Buktinya ketika ketika rombongan diterima, Tuan Presiden kita menangis saking terharunya sambil menahan geram, "Saya akan turun gunung secepatnya" Hasilnya mujarab. Lumpur serta segala masalahnya tetap menyembur.

Ya, Raja, Baginda atau Tuan Presiden selalu dianggap menjadi si Apokalips
yang berhak memiliki keistimewaan, tentang sesuatu yang tersembunyi dari umat manusia pada umumnya. Dan dengan memaknai raja sebagai wakil tuhan yang pengasih dan maha penyayang arti kalimat "seandainya baginda tahu" atau "Seandainya tuan presiden tahu" dianggap menjadi harapan terakhir penyelamatan.

Dus , jadilah kromo selalu dibodohi dan dipaksa percaya. Seandainya raja atau tuan presiden tahu, dia pasti akan membebaskan nestapa rakyatnya dengan menghukum menteri-menterinya yang jahat. Tentu, termasuk menghukum menteri yang rajin menghibahkan puluhan ribu meter kubik lumpur tiap hari. Sayangnya, seperti biasa pertolongan raja tak kunjung datang. Tak ada yang mau mempercayai bahwa raja, baginda atau presiden telah melupakan mereka. Bahkan kromo juga tak tahu atau tak mau tahu justru bagindalah yang pertama mengkhianati rakyat. Baginda rajalah yang dengan penuh kesadaran membiarkan menteri, hulubalang, punggawa sampai kroco belo-nya menindas dan merampok untuk kepentingannya.

Jadi suara lirih yang di dendangkan dari Granada sampai Konstatinopel, dari Seram sampai Pasai dan dari Gunung Kidul sampai Sidoarjo haruslah dimaknai sebagai suara keabadian. Nyaris seabadi tuhan itu sendiri. Suara keabadian yang bahkan para rasulpun menyerah membujuk suara itu agar diam. Keluh di Hira atau teriakan di gumuk Golgota hanyalah penegasan atas kegagalan misinya.

Friday, August 3, 2007

Resep

Sore itu aku menemui seorang teman di apotik tempat tempatnya bekerja. Ada sedikit urusan dengannya. Apotik itu juga tempat dulu aku bekerja bersamanya. Saat itu sedang ramai dan aku memutuskan untuk menunggu saja dan membiarkanmu melayani pasien yang datang untuk menebus resepnya.

Saat itu ada sepasang orang tua yang sedang membawa anak berusia sekitar 3 tahun. Terlihat sang anak begitu lemah dipangkuan sang ayah. Lalu tiba-tiba ingatanku kembali kepada kejadian beberapa tahun lalu. Saat di sebuah koran diberitakan tentang kematian seorang bocah berumur sekitar tiga tahun (Khaerunisa) meninggal akibat muntaber.
Kematiannya menjadi fenomenal dikarenakan si bapak (Supriono) yang hanya berprofesi sebagai pemulung tidak bisa menyewa mobil jenazah dan membawa mayat si anak dengan menggendong dan menumpang di kereta rel listrik (KRL) jurusan Jakarta - Bogor dimana sang anak rencananya akan dimakamkan di Kampung Kramat, Bogor.

Sial baginya, Supriono dibawa ke Polsektro Tebet oleh penumpang KRL yang curiga. Ia pun dipaksa kembali ke RSCM untuk urusan autopsy. Di RSCM, Supriono menjelaskan bahwa Khaerunisa sudah empat hari terserang muntaber. Dia sudah membawa Khaerunisa untuk berobat ke Puskesmas Kecamatan Setiabudi. "Saya hanya sekali bawa Khaerunisa ke puskesmas, saya tidak punya uang untuk membawanya lagi ke puskesmas meski biaya hanya Rp 4.000,- saya hanya pemulung kardus, gelas dan botol plastik yang penghasilannya hanya Rp 10.000,- per hari". Ujar bapak 2 anak yang mengaku tinggal di kolong perlintasan rel KA di Cikini itu Supriono hanya bisa berharap Khaerunisa sembuh dengan sendirinya.

Selama sakit Khaerunisa terkadang masih mengikuti ayah dan kakaknya, Muriski Saleh (6 thn), untuk memulung kardus di Manggarai hingga Salemba,meski hanya terbaring digerobak ayahnya Karena tidak kuasa melawan penyakitnya, akhirnya Khaerunisa menghembuskan nafas terakhirnya pada Minggu (5/6/2005) pukul 07.00. Khaerunisa meninggal di depan sang ayah, dengan terbaring di dalam gerobak yang kotor itu, di sela-sela kardus yang bau. Tak ada siapa-siapa, kecuali sang bapak dan kakaknya.

Ya, hidup negara ini sudah begitu kejam. Jangankan untuk hidup, bahkan untuk matipun sulit. Kalau kau miskin maka jangan mati, karena kau akan bernasib sama seperti Khaerunisa nanti. Ternyata Negara ini belum berpihak kepada si miskin. Memberantas kemiskinan hanya omong kosong belaka, ternyata si miskin tetaplah miskin. Dan ini terjadi di negara yang beragama dan Pancasilais. Lalu dimana letak kemanusiaan?

Namun aku sepakat dengan Psikolog Sartono Mukadis untuk kasus Chaerunisa. "Peristiwa itu adalah dosa masyarakat yang seharusnya kita bertanggung jawab untuk mengurus jenazah Khaerunisa. Jangan bilang keluarga Supriono tidak memiliki KTP atau KK atau bahkan tempat tinggal dan alamat tetap. Ini merupakan tamparan untuk bangsa Indonesia".

Negara ini hanya mampu menyisihkan 2,6% dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) untuk kesehatan. Bandingkan bila dana BLBI 650 triliyun itu di gunakan untuk anggaran kesehatan. Anggaran yang mestinya untuk memerangi kemiskinan telah habis terkuras untuk membayar cicilan utang yang menurut data Koalisi Anti Utang (KAU) pada tahun ini mencapai Rp69,8 triliun. Padahal angka Rp69,8 triliun itu mestinya dapat memenuhi target anggaran minimal 20% untuk pendidikan, kesehatan dan bantuan bencana alam.

Lalu ditambah dengan program kesehatan yang tidak memihak si miskin seperti Supriono. Karena askses untuk mendapatkan pelayanan kesehatan masyarakat miskin mempunyai syarat-sayarat tertentu seperti KK, KTP dsb untuk mengurus surat keterangan miskin. Setelah itu barulah mereka dapat dilayani di pusat-pusat pelayanan kesehatan milik pemerintah. Sedang orang-orang seperti Supriono hidup di grobak dan berpindah-pindah jangankan KK, KTP pun tidak punya. Bagaimana caanya dia mendapatkan surat-surat tersebut? Maka bila dia tidak terdaftar menjadi salah satu warga dimanapun di negara ini maka akses untuk mendapat pelayanan kesehatan adalah mustahil. Sudahkah Negara ini berpihak kepada mereka?

Lalu aku tercenung melihat kedalam diriku. Apa yang sudah aku lakukan? Apakah aku harus menunggu negara pulih? Karena obat-obatan lama telah resisten dengan penyakit bangsa ini. Perlu resep baru yang lebih manjur agar keadilan menjadi keadilan yang merata. Tidak hanya berpihak kepada yang mampu tapi juga kepada yang tidak mampu.

Masih di ruang tunggu apotik tempat aku menunggu temanku. Aku memikirkan formulasi resep bagi orang-orang seperti Supriono. Aku rasa bila menunggu formulasi dari negara ini akan terlambat. Paling tidak akan mengorbankan Chairunisa-chairunisa yang lain.

Formulasi Resep ini kunamakan “Kesederhanaan”. Mulai dari hanya menggambil sesuai kebutuhan dan memberi sesuai kemampuan.

NB: tulis ini juga untuk memenuhi janji sebuah postingan tentang resep pavoritku. Dan ini resepnya. Resep yang coba terus kucicipi

Wednesday, August 1, 2007

Sial

Apakah kau pernah merasa bahwa hidupmu merupakan perpindahan dari satu kesialan ke kesialan yang lain? Bahwa hidupmu serasa diliputi kegelapan. Bahkan kau sudah dapat meramalkan masa depanmu sendiri dengan tepat, yaitu kau akan selalu "sial".
Mungkin saat kau merasa selalu sial bukanlah sesuatu perkara yang besar. Namun bagaimana saat orang yang berada di dekatmu merasa sial karena kehadiranmu? Apalagi meraka adalah orang-orang yang kau cintai. Seakan kau merasa sebuah kutukan keabadian menyinggapimu. Kau terkutuk. Kau membawa sial. Kehadiranmu musibah bagi yang lain.

Aku pernah merasakan itu. Sangat perih dan pedih. Bahkan suara hatiku seperti deruman suara pesawat berteriak sakit di jiwa. Coba mencari jawaban akan semua kesialan itu. Apakah benar aku sial? Kenapa Tuhan memberikan nasib ini kepadaku? Apa salahku sehingga didekatku mereka menjadi sial? Apakah benar hidupku akan terus sial? puluhan pertanyaan berputar dan berseliweran tak karuan dikepalaku.

Mencoba mencari jawaban yang ada malah rasa terpuruk. Perasaan merasa keberadaan diri ini menjadi sia-sia. Hanya dengan sebuah pernyataan-pernyataan ringan seorang teman mungkin, atau orang tua, atau saudara, atau malah kekasih. Bagi mereka yang mengucapkan mungkin terasa ringan. Namun bagi jiwa yang memikulnya. Beban itu terasa sangat berat. Seberat dunia dan seluruh isinya.

Tapi kau jangan khawatir, ini adalah perasaan-perasaan orang yang dengan sebuah pernyataan kemudian mendramatisir abis semuanya.

"Kenapa ya, kalau ada kamu kita selalu sial?" atau
" Hidupmu memang membawa sial keluarga ini" atau
" Selama aku berhubungan dengan kamu, aku selalu dirundung sial"

Pernah mendengar perkataan seperti itu? atau yang sejenisnya? atau kau sendiri pernah mengucapkannya untuk seorang teman, adik, kakak, atau pacarmu sendiri?

Kalau kau pernah dituduh sebagai pembawa sial. Yakinlah, kau hanya jadi kambing hitam dari kesialan orang tersebut. Kalaupun suatu musibah menimpa seseorang dikarenakan kesilapanmu. Yakinlah, kau hanya perantara dari kehendakNya.

Yang harus kau lakukan pertama-pertama sekali adalah jangan mendramatisir keadaan sehingga kau menggambil tempat di sudut yang sengaja di sediakan oleh orang yang mengatakan kau sial. Anggaplah bahwa dia hanya butuh seseorang yang dijadikan tumbal untuk kegagalan didirnya sendiri, dan kau orang yang terpilih itu karena kau berada tepat disaat yang tidak tepat. So, kau bukan si pembawa sial.

Kalau kesialan orang tersebut berhubungan denganmu dikarenakan kesilapanmu, maka cepat-cepatlah minta maaf. Namun tetaplah berfikir proporsional. Seperti mengganti kata-kata sial dengan musibah, agaknya bisa sedikit meringankan. Kau manusia bukan Nabi apalagi Tuhan yang tidak pernah berbuat salah. Kesalahan hal yang lumrah, manusiawi, namun jangan menjadikan ini alasan untuk terus berada dalam kesalahan. Teruslah belajar dan memperbaiki diri. Dan ingat mungkin melalui dirimu Tuhan lagi mengetes orang lain. Jadi tetap berfikir positif ya. kesalahanmu bila dimafaatkan dengan benar untuk orang lain akan menjadi nilai lebih buat dirinya, Dan saat kau dapat menyikapi ini dengan baik pula maka kau akan lebih baik dalam

Tapi bagaimana kalau " pembawa sial" itu sering diucapkan orang-orang untukmu? hhhmmmm... Kayaknya harus mulai dipikirkan kalau kau mungkin benar-benar membawa sial. Wkakakakakaka...becanda...becanda...

Kupikir, sekali atau seribu kali sama saja kalau kau mulai mendramatisir keadaan dan mengambil tempat di sudut untuk memposisikan dirimu. Mulailah dengan tidak terlalu sensitif dan mengerti mereka dengan menganggap apa yang mereka katakan hanya pelarian dari ketidak mampuan diri mereka sendiri. Karena Apa yang menimpa diri kita sejatinya adalah buah dari perbuatan kita sendiri. Tidaklah logis saat kau melakukan kejahatan maka orang lain yang kena getah dari pohon kejahatan yang kau lakukan, begitu juga sebaliknya.

Dan bagi kalian yang telah mengatakan "kau membawa sial" kepada orang lain. mulailah untuk menjaga mulut kalian. karena itu perkataan menyakitkan. Baik kau bercanda apalagi serius mengatakannya. Terima dengan besar hati ketidak mampuan dirimu, agar di lain waktu bisa memperbaikinya. Dan minta maaflah pada orang yang kalian sakiti. Karena seperti yang kukatakan "mengucapkan mungkin terasa ringan. Namun bagi jiwa yang memikulnya. Beban itu terasa sangat berat. Seberat dunia dan seluruh isinya".