Sunday, September 30, 2007

Kasih Tak Sampai

Selama ini hari-hari selalu diselimuti kabut cinta. Menyejukkan dan menentramkan jiwa. Saat kita bercerita atau diam menikmati gerak kehidupan. Terkadang kita tertawa atau menangis bersama dunia. Atau sekedar melanggar rambu di jalan yang kita lewati sambil mengacungkan jari tengah keatas. Atau bersetubuh dalam rimbun pepohonan dan sejuknya udara gunung. Atau bergelut dalam kesumpekan kereta api sambil menyeruput kopi hitam. Sangat indah. Dan ini membuatku tak ingin melepaskanmu. Aku ingin memilikimu. Hanya Aku. Seperti kau yang ingin memiliki diriku utuh.
Indah, terasa indah
Bila kita terbuai dalam alunan cinta
Sedapat mungkin terciptakan rasa
Keinginan saling memiliki
Cinta tidak harus memiliki. Begitulah perasaan ini harus berakhir. Setelah kita tidak menemukan lagi alasan yang paling bijaksana untuk menjelaskan segala situasi ini. Kau tetap jauh disana. Dan aku disini bagai pungguk merindukan bulan. Ikatan itu tidak pernah ada untuk kita. Kita hanya air dan daun talas. Berada dalam kebersamaan namun tidak pernah bisa bersatu.
namun bila itu semua dapat terwujud
dalam satu ikatan cinta
tak semudah seperti yang pernah terbayang
menyatukan perasaan kita
Bersamamu adalah waktu terindah. Kenangan terbaik. Dan doa-doa terpanjatkan dengan tulus. Air matapun mengalir penuh syukur. Kau yang sudah mengubah duniaku. Kau yang menarikku dari surga. Lalu menuntun aku berjalan di bumi ini. Bertelanjang kaki. Dan menikmati setiap tusukan kerikilnya. Panas tanahnya. Di bumi ini semua kebersamaan kita terjejak dan menjadi saksi. Bagai bintang yang mengindahi malam.
Tetaplah menjadi bintang dilangit
Agar cinta kita akan abadi
Biarlah sinarmu tetap menyinari alam ini
Agar menjadi saksi cinta kita...berdua
Hari-hari bagaikan pendaran cahaya kunang-kunang tanpa kau disisiku. Tiada senyum bintang atau tawa bulan. Takdir sudah kejam memisahkan kita. Aku tahu tidak dapat memutar kembali waktu. Namun aku tidak ingin berakhir seperti ini. Tapi bila ini yang harus terjadi. Aku ingin terus mencintaimu. Menjadikanmu kekasih didalam hatiku.
Sudah, lambat sudah
Ini semua harus berakhir
Mungkin inilah jalan terbaik
Dan kita mesti relakan kenyataan ini
Kau selalu hidup dalam hatiku. Terus menjadi matahari di siangku dan bulan di malamku. Kenangan bersamamulah yang menyelimuti tidur malamku. Suaramu terus bergema dalam jiwaku. Kau masih kekasihku.

NB: Thanks Padi buat liriknya

Tuesday, September 18, 2007

Tarrawih at Mesjid Raya

Ramadhan ke-4 adalah hari pertama aku berpuasa, setelah kemarin kedatangan tamu bulanan. Entah kenapa sudah 2 kali ramadhan ini aku punya kebiasaan aneh, yaitu lemas sesudah berbuka. Saat puasanya aku sanggup melek dan berkegiatan, namun setelah berbuka langsung ngantuk dan lemes badan semuanya. Padahal bila berbuka aku sangat normal. Berbuka dengan segelas air manis ditambah 2 atau 3 potong kue. Dan bila sudah lemas begini maka menjalar ke malas makan.

Karena puasa pertama, maka tarrawihnya pun pertama. DanMesjid Raya Baiturrahman (mesjid kebanggan ureung Atjeh) menjadi pilihan. Cuma Ingin merasakan aja keramaiannya dalam ramadhan ini. Dan selesai berbuka maka aku bersama seorang teman pergi menuju mesjid. Tidak begitu jauh dari rumahku, hanya 5 menit bila naik motor. Tapi karena ramai, maka butuh 15 menit untuk sampai dan mencari parkiran.

Aku masbuk (bener gak ya tulisannya) satu rakaat sholat isya. Lalu dilanjutkan dengan ceramah agama. Kali ini penceramah adalah Kapolda NAD. Aku tidak begitu mendengarkan apa yang diceranahkan, bukan apa-apa, aku lagi asyik duduk di luar (teras mesjid) tempat aku sholat. Aku sholat di teras karena di dalam sudah penuh. Saat itu udara dingin dan angin bertiup kencang. Ada pemandangan yang bikin aku betah disitu, adalah kawanan burung gereja (hah? burung gereja ada di mesjid? murthad tuh burung) hehehe... Karena angin yang kencang maka mereka berhamburan di udara. Indah banget dan kasihan juga lihatnya. Tanpa terasa ceramah selesai dan shalat tarrawihpun dimulai.

Shalat tarrawih yang kukerjakan adalah delapan rakaat, dengan empat kali salam. Terus aku lihat ada sebahagian orang tidak melanjutkan witir, mereka keluar. Aku lalu lanjut dengan tiga rakaat witir. Setelah selesai, ternyata ada gelombang kedua. Orang-orang yang keluar tadi masuk lagi untuk shalat tarawih lagi sampai 20 rakaat dengan diganti imam baru lagi. ternyata mesjid Raya cukup fair untuk menyelenggarakan shalat tarrawih dengan dua versi itu (8 dan 20 rakaat).

Betapa indahnya bila keragaman dan berbagai perbedaan bisa disikapi dengan lapang dada dan besar hati. Semoga semangat kebersamaan ini tetap bersemi sesudah ramadhan nanti. Dan Aceh tidak lagi menjadi daerah konflik yang berdarah-darah lagi. Apa lagi "mandi darah saudara-saudaranya sendiri". Amien.

ini beberapa foto yang sempat terekam kamera HP ku yang tidak seberapa ini













Ket Gambar:
1. Jamaah sholat sampai ke teras mesjid
2. Jamaah gelombang ke 2
3. Lalu lalang saat pulang

Monday, September 10, 2007

Sahabat

Sebuah tulisan yang kupersembahakan untukmu sahabatku (Jamilah)

“Aku ada cerita seru niy” ujarmu suatu sore saat aku dengan sengaja mampir ke tempat kerjamu. Kangen ngobrol dan berbagi berita denganmu.

Kau adalah sahabatku, sahabat yang saat pertama berjumpa sudah mencuri hatiku. Kepolosan, kejujuran serta kesederhanaanmu membuatku betah untuk berlama-lama ngobrol dan curhat denganmu, walau kita sadari masing-masing bahwa sifat kita sangat berbeda jauh. Tapi itulah yang membuat kita tetap menjadi sahabat hingga sekarang. Aku sudah mengganggapmu seperti saudaraku sendiri.

Kini kulihat sayap-sayapmu sudah melebar, mulai menampakkan keindahannya. Kepompong itu sudah pecah. Ulat itu kini telah berubah menjadi kupu-kupu yang indah. Dan tahukah kau betapa bahagianya aku. Ya saat kau menceritakan berbagai pengalamanmu padaku, aku bersyukur bisa mengenalmu dan ikut melihat kau berkembang. Kau yang pemalu sudah menjadi si percaya diri sekarang. Kau yang penakut sudah menjadi pemberani kini. Kau yang si pengikut sudah menjadi si penentu sekarang. Aku turut bahagia sobat. Sangat bahagia. Sekaligus iri, sangat iri. Karena aku sudah ketinggalan darimu.

Dahulu kau dibelakangku. Kau akan ikut kemanapun aku terbang. Karena kau terlalu takut untuk terbang sendirian. Lalu sedikit demi sedikit kau coba mencari jalanmu sendiri, mencoba terbang dengan kekuatan sayap-sayapmu. Ternyata terbang dengan keinginan sendiri lebih menyenangkan bukan? walau saat angin bertiup kencang kau sempat kehilangan arah. Dan kau tahu, aku ada untukmu. Begitu juga diriku terhadapmu.

Aku banyak belajar darimu tentang ketabahan dan kesabaran. Tentang kerja keras dan air mata. Seperti aku juga belajar darimu tentang keteguhan hati dan harga diri. Kulihat sayap-sayapmu mulai menemukan irama dalam kepakannya. Semakin dinamis dan indah. Bagai tarian saman yang anggun namun berenergi.

Kau mengatakan aku selalu lebih beruntung darimu. Tahukah sobat, kaulah yang lebih beruntung dariku. Kau kini bukan kupu-kupu taman lagi, namun kau kupu-kupu hutan. Pengetahuanmu tidak lagi terbatas pada taman yang telah disediakan, namun telah terbang ke dalam hutan dengan segala aneka macam tumbuhan. Kau bisa memilih memakan nektar dari bunga yang ada. Kau belajar memilih bunga mana yang baik dan tidak baik untuk dihisap sarinya. Dan kau juga lebih tangguh karena dihutan tentu lebih banyak musuh. Bertahan hidup dihutan tentu lebih sulit ketimbang di taman. Hi, aku sudah kemana-mana menceritakanmu.

Sahabat, bila umur kita panjang, aku ingin persahabatan ini tetap terjalin. Sampai kita tua. Kau akan menjadi salah satu ceritaku pada anak cucuku. Mereka akan belajar tentang persahabatan darimu. Dari kisah kita. Semoga.

Saturday, August 4, 2007

"...if the king only knews!"

Sejak ratusan tahun lalu, dari ujung Granada di selatan sampai Konstatinopel di timur. Angin yang berbisik membawakan pesan pedih, bercampur setengah harap : "...if the King only knews!".

Di dunia timur tak jauh beda. Pada gugusan pulau dari ujung Seram sampai Pasai, setiap doa yang dipanjatkan, selalu disisipi ratap keputusasaan: "...seandainya Baginda tahu!!"

Dulu, kromo di jaman jawa kerajaan mengenal istilah pepe. Yakni berjemur di alun-alun sebagai bentuk protes. Suatu tradisi perlawanan kromo terhadap raja, yang didasari ketidakpuasan atas kebijakan yang diambil kerajaan. Kromo yang tidak puas itu merebahkan diri di alun-alun, berjemur di bawah sinar matahari, dan rela diguyur hujan untuk memohon perhatian raja. Kromo akan tetap berjemur di antara ringin kurung (beringin kembar di alun-alun) sampai protesnya ditanggapi.

Bagaimana di Nusantara kontemporer? Nyaris tak berubah. Sekarang dan disini, dari pelosok dataran tandus Gunung Kidul sampai lautan lumpur Sidoarjo, semilir angin menenteng rintihan serta keluhan nestapa yang menyayat : "..seandainya tuan presiden tahu!". Ah, lalu berbondong-bondong dan berkerumun-kerumun nestapa diadukan.

Bayangkan suatu hari, ketika sedang nyeyak-nyeyaknya tidur tiba-tiba lumpur menyembur. Pertama hanya menggenangi sawah. Kemudian pekarangan, lalu perlahan masuk pelataran rumah. Sebulan berselang, masjid, kuburan, jalan desa sampai lapangan bola berubah menjadi genangan lumpur yang mengerikan. Hanya lumpur sejauh mata memandang, lumpur dan lumpur. Setahun berselang janji hanyalah janji.

Ya,
if the King only knews, seandainya baginda tahu atau seandainya tuan presiden tahu selalu menjadi mantra dan jalan keluar. King, Baginda atau Tuan Presiden dianggap orang-orang pilihan yang di tunjuk langsung oleh tuhan dengan membajak Vox populi vox dei. Pepe di jaman kontemporer?

Ah, demokrasi modern yang dikarbit disini bukankah telah menciptakan katup-katupnya sendiri?
Saluran disediakan, mekanisme di bakukan seperti coblosan yang menjadi jalan keluar. Realitas di remas dan di kemas oleh TV dan koran lengkap dengan manipulasinya. Selalu dan lagi-lagi kromo dirampok elitnya.

Jadi bila lumpur tetap menyembur? Bukan berati Tuan presiden tidak tahu derita rakyatnya. Juga bukan berarti ber
bondong-bondongnya jerit tangis yang diadukan tak didengar. Bukan, sekali kali bukan. Tuan Presiden kita tahu kok derita rakyatnya. Tak percaya? Buktinya ketika ketika rombongan diterima, Tuan Presiden kita menangis saking terharunya sambil menahan geram, "Saya akan turun gunung secepatnya" Hasilnya mujarab. Lumpur serta segala masalahnya tetap menyembur.

Ya, Raja, Baginda atau Tuan Presiden selalu dianggap menjadi si Apokalips
yang berhak memiliki keistimewaan, tentang sesuatu yang tersembunyi dari umat manusia pada umumnya. Dan dengan memaknai raja sebagai wakil tuhan yang pengasih dan maha penyayang arti kalimat "seandainya baginda tahu" atau "Seandainya tuan presiden tahu" dianggap menjadi harapan terakhir penyelamatan.

Dus , jadilah kromo selalu dibodohi dan dipaksa percaya. Seandainya raja atau tuan presiden tahu, dia pasti akan membebaskan nestapa rakyatnya dengan menghukum menteri-menterinya yang jahat. Tentu, termasuk menghukum menteri yang rajin menghibahkan puluhan ribu meter kubik lumpur tiap hari. Sayangnya, seperti biasa pertolongan raja tak kunjung datang. Tak ada yang mau mempercayai bahwa raja, baginda atau presiden telah melupakan mereka. Bahkan kromo juga tak tahu atau tak mau tahu justru bagindalah yang pertama mengkhianati rakyat. Baginda rajalah yang dengan penuh kesadaran membiarkan menteri, hulubalang, punggawa sampai kroco belo-nya menindas dan merampok untuk kepentingannya.

Jadi suara lirih yang di dendangkan dari Granada sampai Konstatinopel, dari Seram sampai Pasai dan dari Gunung Kidul sampai Sidoarjo haruslah dimaknai sebagai suara keabadian. Nyaris seabadi tuhan itu sendiri. Suara keabadian yang bahkan para rasulpun menyerah membujuk suara itu agar diam. Keluh di Hira atau teriakan di gumuk Golgota hanyalah penegasan atas kegagalan misinya.

Friday, August 3, 2007

Resep

Sore itu aku menemui seorang teman di apotik tempat tempatnya bekerja. Ada sedikit urusan dengannya. Apotik itu juga tempat dulu aku bekerja bersamanya. Saat itu sedang ramai dan aku memutuskan untuk menunggu saja dan membiarkanmu melayani pasien yang datang untuk menebus resepnya.

Saat itu ada sepasang orang tua yang sedang membawa anak berusia sekitar 3 tahun. Terlihat sang anak begitu lemah dipangkuan sang ayah. Lalu tiba-tiba ingatanku kembali kepada kejadian beberapa tahun lalu. Saat di sebuah koran diberitakan tentang kematian seorang bocah berumur sekitar tiga tahun (Khaerunisa) meninggal akibat muntaber.
Kematiannya menjadi fenomenal dikarenakan si bapak (Supriono) yang hanya berprofesi sebagai pemulung tidak bisa menyewa mobil jenazah dan membawa mayat si anak dengan menggendong dan menumpang di kereta rel listrik (KRL) jurusan Jakarta - Bogor dimana sang anak rencananya akan dimakamkan di Kampung Kramat, Bogor.

Sial baginya, Supriono dibawa ke Polsektro Tebet oleh penumpang KRL yang curiga. Ia pun dipaksa kembali ke RSCM untuk urusan autopsy. Di RSCM, Supriono menjelaskan bahwa Khaerunisa sudah empat hari terserang muntaber. Dia sudah membawa Khaerunisa untuk berobat ke Puskesmas Kecamatan Setiabudi. "Saya hanya sekali bawa Khaerunisa ke puskesmas, saya tidak punya uang untuk membawanya lagi ke puskesmas meski biaya hanya Rp 4.000,- saya hanya pemulung kardus, gelas dan botol plastik yang penghasilannya hanya Rp 10.000,- per hari". Ujar bapak 2 anak yang mengaku tinggal di kolong perlintasan rel KA di Cikini itu Supriono hanya bisa berharap Khaerunisa sembuh dengan sendirinya.

Selama sakit Khaerunisa terkadang masih mengikuti ayah dan kakaknya, Muriski Saleh (6 thn), untuk memulung kardus di Manggarai hingga Salemba,meski hanya terbaring digerobak ayahnya Karena tidak kuasa melawan penyakitnya, akhirnya Khaerunisa menghembuskan nafas terakhirnya pada Minggu (5/6/2005) pukul 07.00. Khaerunisa meninggal di depan sang ayah, dengan terbaring di dalam gerobak yang kotor itu, di sela-sela kardus yang bau. Tak ada siapa-siapa, kecuali sang bapak dan kakaknya.

Ya, hidup negara ini sudah begitu kejam. Jangankan untuk hidup, bahkan untuk matipun sulit. Kalau kau miskin maka jangan mati, karena kau akan bernasib sama seperti Khaerunisa nanti. Ternyata Negara ini belum berpihak kepada si miskin. Memberantas kemiskinan hanya omong kosong belaka, ternyata si miskin tetaplah miskin. Dan ini terjadi di negara yang beragama dan Pancasilais. Lalu dimana letak kemanusiaan?

Namun aku sepakat dengan Psikolog Sartono Mukadis untuk kasus Chaerunisa. "Peristiwa itu adalah dosa masyarakat yang seharusnya kita bertanggung jawab untuk mengurus jenazah Khaerunisa. Jangan bilang keluarga Supriono tidak memiliki KTP atau KK atau bahkan tempat tinggal dan alamat tetap. Ini merupakan tamparan untuk bangsa Indonesia".

Negara ini hanya mampu menyisihkan 2,6% dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) untuk kesehatan. Bandingkan bila dana BLBI 650 triliyun itu di gunakan untuk anggaran kesehatan. Anggaran yang mestinya untuk memerangi kemiskinan telah habis terkuras untuk membayar cicilan utang yang menurut data Koalisi Anti Utang (KAU) pada tahun ini mencapai Rp69,8 triliun. Padahal angka Rp69,8 triliun itu mestinya dapat memenuhi target anggaran minimal 20% untuk pendidikan, kesehatan dan bantuan bencana alam.

Lalu ditambah dengan program kesehatan yang tidak memihak si miskin seperti Supriono. Karena askses untuk mendapatkan pelayanan kesehatan masyarakat miskin mempunyai syarat-sayarat tertentu seperti KK, KTP dsb untuk mengurus surat keterangan miskin. Setelah itu barulah mereka dapat dilayani di pusat-pusat pelayanan kesehatan milik pemerintah. Sedang orang-orang seperti Supriono hidup di grobak dan berpindah-pindah jangankan KK, KTP pun tidak punya. Bagaimana caanya dia mendapatkan surat-surat tersebut? Maka bila dia tidak terdaftar menjadi salah satu warga dimanapun di negara ini maka akses untuk mendapat pelayanan kesehatan adalah mustahil. Sudahkah Negara ini berpihak kepada mereka?

Lalu aku tercenung melihat kedalam diriku. Apa yang sudah aku lakukan? Apakah aku harus menunggu negara pulih? Karena obat-obatan lama telah resisten dengan penyakit bangsa ini. Perlu resep baru yang lebih manjur agar keadilan menjadi keadilan yang merata. Tidak hanya berpihak kepada yang mampu tapi juga kepada yang tidak mampu.

Masih di ruang tunggu apotik tempat aku menunggu temanku. Aku memikirkan formulasi resep bagi orang-orang seperti Supriono. Aku rasa bila menunggu formulasi dari negara ini akan terlambat. Paling tidak akan mengorbankan Chairunisa-chairunisa yang lain.

Formulasi Resep ini kunamakan “Kesederhanaan”. Mulai dari hanya menggambil sesuai kebutuhan dan memberi sesuai kemampuan.

NB: tulis ini juga untuk memenuhi janji sebuah postingan tentang resep pavoritku. Dan ini resepnya. Resep yang coba terus kucicipi

Wednesday, August 1, 2007

Sial

Apakah kau pernah merasa bahwa hidupmu merupakan perpindahan dari satu kesialan ke kesialan yang lain? Bahwa hidupmu serasa diliputi kegelapan. Bahkan kau sudah dapat meramalkan masa depanmu sendiri dengan tepat, yaitu kau akan selalu "sial".
Mungkin saat kau merasa selalu sial bukanlah sesuatu perkara yang besar. Namun bagaimana saat orang yang berada di dekatmu merasa sial karena kehadiranmu? Apalagi meraka adalah orang-orang yang kau cintai. Seakan kau merasa sebuah kutukan keabadian menyinggapimu. Kau terkutuk. Kau membawa sial. Kehadiranmu musibah bagi yang lain.

Aku pernah merasakan itu. Sangat perih dan pedih. Bahkan suara hatiku seperti deruman suara pesawat berteriak sakit di jiwa. Coba mencari jawaban akan semua kesialan itu. Apakah benar aku sial? Kenapa Tuhan memberikan nasib ini kepadaku? Apa salahku sehingga didekatku mereka menjadi sial? Apakah benar hidupku akan terus sial? puluhan pertanyaan berputar dan berseliweran tak karuan dikepalaku.

Mencoba mencari jawaban yang ada malah rasa terpuruk. Perasaan merasa keberadaan diri ini menjadi sia-sia. Hanya dengan sebuah pernyataan-pernyataan ringan seorang teman mungkin, atau orang tua, atau saudara, atau malah kekasih. Bagi mereka yang mengucapkan mungkin terasa ringan. Namun bagi jiwa yang memikulnya. Beban itu terasa sangat berat. Seberat dunia dan seluruh isinya.

Tapi kau jangan khawatir, ini adalah perasaan-perasaan orang yang dengan sebuah pernyataan kemudian mendramatisir abis semuanya.

"Kenapa ya, kalau ada kamu kita selalu sial?" atau
" Hidupmu memang membawa sial keluarga ini" atau
" Selama aku berhubungan dengan kamu, aku selalu dirundung sial"

Pernah mendengar perkataan seperti itu? atau yang sejenisnya? atau kau sendiri pernah mengucapkannya untuk seorang teman, adik, kakak, atau pacarmu sendiri?

Kalau kau pernah dituduh sebagai pembawa sial. Yakinlah, kau hanya jadi kambing hitam dari kesialan orang tersebut. Kalaupun suatu musibah menimpa seseorang dikarenakan kesilapanmu. Yakinlah, kau hanya perantara dari kehendakNya.

Yang harus kau lakukan pertama-pertama sekali adalah jangan mendramatisir keadaan sehingga kau menggambil tempat di sudut yang sengaja di sediakan oleh orang yang mengatakan kau sial. Anggaplah bahwa dia hanya butuh seseorang yang dijadikan tumbal untuk kegagalan didirnya sendiri, dan kau orang yang terpilih itu karena kau berada tepat disaat yang tidak tepat. So, kau bukan si pembawa sial.

Kalau kesialan orang tersebut berhubungan denganmu dikarenakan kesilapanmu, maka cepat-cepatlah minta maaf. Namun tetaplah berfikir proporsional. Seperti mengganti kata-kata sial dengan musibah, agaknya bisa sedikit meringankan. Kau manusia bukan Nabi apalagi Tuhan yang tidak pernah berbuat salah. Kesalahan hal yang lumrah, manusiawi, namun jangan menjadikan ini alasan untuk terus berada dalam kesalahan. Teruslah belajar dan memperbaiki diri. Dan ingat mungkin melalui dirimu Tuhan lagi mengetes orang lain. Jadi tetap berfikir positif ya. kesalahanmu bila dimafaatkan dengan benar untuk orang lain akan menjadi nilai lebih buat dirinya, Dan saat kau dapat menyikapi ini dengan baik pula maka kau akan lebih baik dalam

Tapi bagaimana kalau " pembawa sial" itu sering diucapkan orang-orang untukmu? hhhmmmm... Kayaknya harus mulai dipikirkan kalau kau mungkin benar-benar membawa sial. Wkakakakakaka...becanda...becanda...

Kupikir, sekali atau seribu kali sama saja kalau kau mulai mendramatisir keadaan dan mengambil tempat di sudut untuk memposisikan dirimu. Mulailah dengan tidak terlalu sensitif dan mengerti mereka dengan menganggap apa yang mereka katakan hanya pelarian dari ketidak mampuan diri mereka sendiri. Karena Apa yang menimpa diri kita sejatinya adalah buah dari perbuatan kita sendiri. Tidaklah logis saat kau melakukan kejahatan maka orang lain yang kena getah dari pohon kejahatan yang kau lakukan, begitu juga sebaliknya.

Dan bagi kalian yang telah mengatakan "kau membawa sial" kepada orang lain. mulailah untuk menjaga mulut kalian. karena itu perkataan menyakitkan. Baik kau bercanda apalagi serius mengatakannya. Terima dengan besar hati ketidak mampuan dirimu, agar di lain waktu bisa memperbaikinya. Dan minta maaflah pada orang yang kalian sakiti. Karena seperti yang kukatakan "mengucapkan mungkin terasa ringan. Namun bagi jiwa yang memikulnya. Beban itu terasa sangat berat. Seberat dunia dan seluruh isinya".

Saturday, June 30, 2007

Juli di bulan Juni

Aku lahir dibulan Juli, tapi Juni adalah bulan yang yang penuh kenangan bagiku. Akulah Juli di bulan Juni. Banyak tawa dan air mata yang datang silih berganti, tak ada seharipun yang dilewati dengan kehampaan. Penuh warna, tak hanya hitam dan putih saja. Juli melihat banyak pelangi di bulan Juni. Di bulan Juni, Juli banyak belajar tentang kehidupan. Belajar dari melihat, merasakan, memahami dan akan terus belajar.

Banyak cerita di bulan Juni. Dari butanya akan dunia sampai mulai melangkah menuju cahaya. Ke-Juni-an lah yang mengajarkan Juli untuk tetap hidup dalam setiap bulannya. Junilah yang membuat hari-hari Juli terasa lebih indah. Kenangan Juni membuat hari-hari Juli menjadi lebih berarti.

Juni pernah berkata kepada Juli "Lawan rasa takutmu...hadapi..hadapi..."

Dari Juni, Juli belajar bahwa dunia bukan hanya melihat bintang bulan dan matahari saja. Tetapi dari dunia juga terlihat hamparan karpet lusuh kelaparan dan kemiskinan serta ketidak adilan. Ya, dunia terdiri dari gunung-gunung tangis dan jerit kesakitan. Dunia adalah pahitnya buah dari pohon nasib dan kumpulan kemelaratan dari sungai penjajahan yang kekal.

Juni pernah menunjukkan kepada Juli bahwa terkadang batas surga dan neraka hanya terpisahkan oleh setipis tembok atau segaris pembatas jalan. Juni juga sering memperlihatkan air mata dukanya kepada Juli, saat melihat sebagian anak yang bermain di pusat hiburan dituntun oleh seorang perawat cantik, menggunakan kereta dorong bersama orang tuannya yang berjalan angkuh. Sementara disebelah dinding lainnya, ada anak-anak yang dengan telanjang kaki sedang berjuang untuk hidup. Menjajakan minuman dingin demi dapat makan hari ini tanpa pernah tahu siapa orang tuanya.

Seringkali Juni tersenyum sinis kepada Juli. Senyum itu seakan-akan berkata, "bukankah duniamu berada dibelahan dunia si anak penjual minuman itu?"
Lalu, Juni hanya tertunduk dengan ekspresi muka yang bercampur baur.

Juli banyak diam saat Juni memperlihatkan bahwa sebenarnya segala fasilitas yang ditawarkan para kapitalis itu bukanlah kebutuhan yang benar-benar Juli butuhkan. Demi kertas toilet untuk membersihkan kemaluan dan lubang anus atau tissue untuk pembersih kotoran dari topeng-topeng yang dikenakan si kaya, berapa banyak pohon yang ditebang? Yang mengakibatkan longsor dan menimbun rumah para penduduk yang tidak pernah mengecap lembutnya kertas toilet dan tissue. Karena mereka selamanya telah mencukupkan diri menggunakan air untuk cebok dan menggunakan kain untuk nge-lapnya. Demi memberikan kenyamanan pada si kaya saat berada di Mall, Cafe atau Restauran berapa banyak energi yang dibutuhkan lalu mengakibatkan pemanasan global? Sedang saat pemanasan global itu terjadi bukan hanya si kaya yang terkena efeknya, tapi si miskinpun terkena getah nangka yang tidak pernah dia kecap manisnya.

Juli kembali terdiam. Entahlah, Juni seakan tidak perduli apakah Juli paham atau tidak. Bagi Juni inilah dunia, baik Juli paham atau tidak, baik juli tahu atau tak mau tahu.
Tapi apakah Juli seonggok batu tanpa perasaan?

Kenyamanan hidup telah membuat urat-urat kepedulian sosial Juli resisten terhadap kejadian di sekitarnya. Sebuah jentikan jari Juni semoga bisa menyadarkan Juli dari mimpi panjang tentang "dunianya". Dunia yang berisi kenyamanan dan ketersediaan segala kebutuhannya.

Juni berharap, sekarang Juli paling tidak sadar bahwa saat menggunakan tisseu untuk membersihkan wajahnya dibagian gunung sana sebuah pohon telah berkorban untuk ditebang. Sadar saat Juli menggunakan lampu listrik dirumah, efek pemanasan global juga terkena pada yang tidak pernah merasakan terangnya malam berlampukan listrik.

Juli...
Juni banyak menitipkan harapan padamu

Jentikan Juni...
Semoga tidak menjadi tamparan.

Pelangi...
Kini warnamu tampak lebih indah dari biasanya dimata Juli.

Thursday, June 28, 2007

Part II; Lawuku

Naik gunung adalah sesuatu yang asyik. Udara yang sejuk, hijaunya pepohonan, kesunyian yang mistis serta keluasan dalam memandang. Pemandangan dikaki bukit tentu berbeda dengan pandangan di puncak bukit. Namun terkadang kita yang berada dikaki gunung sudah merasa puas dengan pemandangan yang dikaki gunung, padahal bila kita mau bersusah payah sedikit saja, kita akan menemukan pemandangan yang lebih luas lagi dari puncak gunung. Setiap tempat memberikan pemandangan yang berbeda, namun keluasan penglihatan yang berada dipuncak pasti lebih luas dari yang berada di kaki gunung.

Mendaki gunung bukan saja hanya kegiatan fisik semata. Bahwa kita mendaki dari kaki gunung perlahan-lahan naik akhirnya sampai pada puncak gunung. Mendaki gunung lebih dari itu, selain kekuatan fisik juga dibutuhkan kekuatan mental serta keterampilan dalam membaca alam.

Bila hanya mengandalkan kekuatan fisik ada kemungkinan kita kalah dalam berjuang mencapai tujuan pendakian. Karena para pendaki-pendaki tangguh itu tidak hanya mengandalkan kekuatan fisiknya saja dalam melakukan pendakian namun keterampilan mereka membaca alam sangat membantu mereka untuk menghemat tenaga dalam pendakian. Karena bagiku yang baru pertama kali naik gunung, wuih...capek banget. Apalagi harus bertarung dengan alam yang bila tiba-tiba kurang bersahabat, bisa dibayangkan kelelahannya. Dan untuk menghindari itu biasanya pendaki sudah dibekali dengan pengetahuan tentang "membaca alam".


Selain kelelahan fisik, biasanya yang menambah berat adalah kelelahan mental. Kita bisa merasa begitu hopeless saat tidak tahu seberapa jauh kita akan terus mendaki? Apakah bekal kita cukup untuk sampai dan kembali lagi? Ditambah dengan mitos-mitos yang menyeramkan tentang gunung yang akan kita daki. Bila tidak kuat, bisa-bisa sepanjang perjalanan adalah neraka bagi kita.

Ini kisahku, sebagai seorang cewek yang baru pertama mendaki gunung aku begitu antusias untuk naik gunung. Walau secara historis aku tidak pernah berjalan jauh ditambah fisikku yang tidak begitu kuat. Setelah mebujuk seorang teman yang biasa naik turun gunung, maka berangkatlah aku bersamanya ke Solo. Dari Solo kami melanjutkan perjalanan menggunakan bus menuju terminal Tawangmangu, lalu naik angkot untuk kemudian sampai ke Cemoro Kandang. Lalu istirahat sejenak dan segera melapor kepada PERUM PERHUTANI di base camp dengan membayar karcis tanda masuk sebesar Rp. 3.500/orang. Disana juga tertulis Cemoro Kandang- Puncak Lawu hanya 5-6 jam saja.

Maka pendakianpun dimulai. Dengan mengunakan baju kaos dan celana kain serta sendal jepit(soalnya sepatuku kurang nyaman), aku memulai pendakian itu. Sebentar-sebentar aku istirahat, untunglah temanku ini tipe yang sabar. Dia selalu menunggu aku setiap berhenti untuk mengambil nafas dan menghimpun tenaga kembali. Udara Lawu saat kita masih di Cemoro Kandang sudah dingin, namun atas saran temanku aku tetap menggunakan baju kaos biasa aja, agar saat mendapatka suhu yang lebih extrim sebuah baju hangat akan terasa kegunaannya.

Setapak demi setapak aku lalui, rasanya berat banget. Agak lega saat mencapai post I di ketinggian 2.300 Dpl. Lalu mulai berjalan lagi untuk mencapai pos ke II yang hampir sama jauhnya dari base camp-post pertama, hanya saja ketinggian yang di capai tidak terlalu terjal sehingga perjalanan lebih cepat, walau jaraknya lebih jauh yaitu sekitar 1.5km, lebih panjang 0.3km dibanding base camp dan post pertama yaitu sekitar 1.2km. Setelah itu bagiku mulailah penderitaan itu dimulai.

Post ketiga yang menjadi tujuanku tidak kunjung juga kutemukan, padahal jarak dan waktu yang kutempuh sudah lebih dari jarak dan waktu sewaktu di post I dan post II. Ditambah udara yang semakin dingin dan hari yang semakin gelap. Mulailah hantu-hantuan dipikiranku datang.

Mulai dari udara yang sudah bertambah dingin, hari yang gelap, lalu jalan yang dimataku terlihat begitu menyeramkan. Bila ada jalur yang sedikit terjal aku mulai ragu untuk melankah. Dengan bantuan sebuah senter aku juga terus berjalan. Aku harus menemukan post untuk beristirahat. Aku sudah sangat lelah.

Untunglah temanku bisa menenangkanku. Dengan segala filosofinya tentang apa sebenarnya tujuan naik gunung dan menikmati setiap langkah, kelelahan dan semuanya yang kita rasa disaat mendaki gunung. Maka pikiranku mulai beralih kehal-hal tersebut. Didalam keadaan hopeless itu dia mengingatkan, bahwa setiap perjalanan pasti ada akhirnya. Lelah ini tidak akan selamanya. Bahwa saat akhir (yaitu puncak) itulah akhir pendakian ini, untuk selanjutnya beristirahat dan kita harus kembali menuruni gunung ini.

Ada perkataannya yang menambah semangatku. "Sepertinya post tiga sudah kita lewati deh, karena gelap kita tidak sengaja sudah melewatinya". Dalam hatiku sedikit terhibur, berarti perjalananku tidak jauh lagi untuk sampai puncak. Karena dari post empat, tinggal satu post lagi untuk sampai ke puncak, iya...satu post lagi.

Lalu sampailah kami si sebuah post dan temanku berkata "Alhamdulillah, ternyata kita masih di post tiga". Sontak aku berteriak "Anjriiiiiiiiiiiiiiiiiitttt...pokoknya besok kita langsung turun. Nggak usah jalan sampai puncak lagi. Aku nggak kuat, cukup...cukup...". Temanku hanya tersenyum. Ternyata cerita tentang post tigapun adalah akal-akalannya saja. Dia tahu persis dimana letak setiap post, dia udah puluhan kali naik Lawu. Itu hanya motivasi untukku.

Maka akhirnya kami bermalam di post tiga. Namun penderitaan tidak berakhir disitu saja. udara yang sangat dingin bikin aku panik, sehingga tiba-tiba aku susah bernafas, ditambah lagi suara krasak krusuk di luar sleeping bag bikin aku tidak bisa tidur dan bawaan ingin pipis terus (mana airnya sedingin air kulkas untuk cebok). Malam menjadi sangat panjang dengan semua penderitaan itu. Saat melihat mentari pagi, barulah aku bisa melihat secercah harapan.

Lalu kami siap-siap untuk menuruni gunung lawu itu. Menuruninya dari post tiga, temanku sempat menanyakan apakah aku yakin tidak mau melanjutkan untuk sampai kepuncak? Dan aku sudah sangat yakin dengan keputusanku itu. Sangat yakin dengan kemampuanku. Bagiku sudah merasakan naik gunung, sedikit mengetahui filosofi yang didapat dari naik gunung dengan aplikasi kehidupan sehari-hari sudah cukuplah. Lain kali saat tubuhku fit untuk naik gunung lagi, mungkin aku akan kembali. Kembali menikmati hijaunya pohon, setiap hembusan nafas yang berjuang karena kelelahan, kesunyian yang mistis dari mendaki gunung.

Terimakasih teman...
Terimakasih Lawuku...
Kalian banyak mengajarkan kepadaku tentang kehidupan selama kebersamaan kita disana mulai dari cemoro Kandang sampai Penggik.

Thursday, June 21, 2007

Part I ; Rekreasi Kelas

Ku tahu dia adalah seorang dari keluarga yang memiliki status ekonomi menengah keatas. Paling tidak sebagian besar dari kebutuhan-kebutuhan hidupnya dapat dipenuhi olehnya atau keluarganya dengan baik.

Malam itu dikota yang sama sekali asing baginya namun sangat sering dia impikan untuk berkunjung kesana, Jakarta. Dia beristirahat di sebuah kamar hotel dengan tarif Rp 355.000/semalam setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh dari istananya selama ini, tempat seperti itu sudah menjadi standar baginya.

Selain datang untuk mengurus adiknya yang akan kuliah di pulau Jawa itu, ia juga datang untuk memenuhi undangan temannya yang ingin memperlihatkan sisi kehidupan lain kepadanya.

Memang sangat luar biasa baginya, baru saja semalam ia berada disebuah kamar hotel yang nyaman lengkap dengan segala fasilitas seperti mini bar, tempat tidur empuk, kamar mandi bersih dan pendingin ruangan yang menambah kenyamanan kamarnya. Namun di malam berikutnya ia harus menginap disebuah kamar kontrakan berukuran 2 x 2,5 meter seharga Rp 240.000/bulan yang…ah…tak pernah terbayangkan olehnya sebelumnya. Tidur dilantai hanya dengan beralas karpet lusuh, kadang berteman tikus dan kecoa.

Dikatakan ini rekreasi kelas karena ini bukan hal yang akan dia hadapi selamanya, ini hanya sekedar memenuhi rasa keingin tahuannya akan dunia lain dari dunia yang selama ini dikenalnya. Sebuah rekreasi kelas, turun dari kehidupan kelasnya yang biasa.

Bukan hanya pemikiran yang butuh beradaptasi dengan perubahan ini tetapi jiwa dan terlebih-lebih fisik bekerja ekstra untuk mengikuti perubahan dalam rekreasi kali ini. Bila dahulu maag adalah penyakit yang datang dikarenakan diet ketat demi menjaga bentuk tubuhnya, kini maag dikarenakan makan yang seadanya (kadang ada, kadang puasa).

Aku pernah melihat senyumnya saat itu, disiang yang panas. Senyum yang mencoba memahami makna rekreasi yang sedang dijalaninya. Ada rasa iba dihatiku namun aku melihat sebuah kekuatan disana. Kekuatan untuk memahami sesamanya. Bukan aku saja, tapi aku juga tahu dia berharap ini tidak hanya rekreasi dan kemudian menjadi kenangan tentang perjalanan hidupnya, tetapi bisa membekas dan bermanfaat. Sehingga dia memiliki pisau analisa yang tajam tentang hidup dan kehidupan ini. tidak hanya bersimpati tetapi juga berempati. Berempati…ini mengingatkan aku akan kata-kata sahabatku sahabatku yang lahir di abad ke-6 itu Muhammad bin Abdullah

"Gambaran orang-orang beriman dalam hal saling mencintai, saling mengasihi, dan saling berempati di antara sesama mereka adalah laksana satu tubuh, jika ada sebagian dari anggota tubuh yang sakit, maka seluruh anggota tubuh akan ikut merintih, merasakan demam, dan tak bisa tidur."

Kini dia tahu bagaimana rasanya lapar bukan karena keharusan berpuasa atau berdiet tetapi karena memang tidak ada yang hendak dimakan. Bagaimana rasanya setiap kepingan uang logam begitu berharga. Bagaimana rasanya bersetubuh dengan bau apek, tikus, kecoa dan sempitnya kamar kontrakan.

Teman…kini kau tidak hanya tau namun kini kau sudah ikut merasakan. Kini apa yang akan kau perbuat untuk sesamamu?

Jakarta, 21 Juni 2007

Wednesday, June 6, 2007

Marinir, Dari Rakyat dan Untuk Rakyat Peluruku


Choirul Anwar


Hari masih pagi benar ketika dia siuman. Memanggil emaknya dan menangis sebentar, tentu saja emaknya tak ada. Dia diam merasai
ngelangut yang menjalar. Emak kembali dipangilnya, hanya sepi yang menjawab.

Matanya kembali berkabut pasrah menerawang. Menembus batas langit-langit. Ketika akhirnya dia memilih tertidur lagi, bisa jadi mungkin karena capek, sakit dan tak berdaya.

Bocah kecil itu namanya Choirul Anwar. Pagi sehari sebelumnya matanya sangat bercahaya, memandang takjub satria yang berbaris tegap di jalanan kampungnya, gagah dan bersenjata lengkap. Ya, dimatanya pagi itu para satria adalah bayangan Pandawa yang berangkat menyongsong
Baratayuda Jayabinangun menumpas angkara Kurawa.

Untung tak dapat diraih dan malang memilih jalannya yang paling muskil. Padang
kurusetra itu berpindah kekampungnya di Alas Tlogo, Lekok, Pasuruan.

Masih diingat jelas hari itu. Dia menjerit dan menjerit sangat ketakutan ketika para satria itu menyumpah, memaki, mengejar, memukul, menendang sambil menghamburkan
mimis-nya.

Pekaknya rentetan senapan bagi anak berumur tiga tahun adalah petir tengara kiamat. Sementara jerit takut dan teriak ibu-ibu yang menangis bingung adalah hymne kematian yang aneh. Ya, keduanya bersepakat merobek atmosfir panas siang itu menjadi warna darah.

Choirul juga masih ingat ketika tiba-tiba dadanya dirasa merebak panas. Panas yang belum pernah dirasainya. Benar, dada kecil itu dalam sekejap penuh oleh serpihan timah yang menyembur dari laras SS1 para satria laut itu. Timah itu menembus kejam melintas di dadanya, kemudian menelusup kedalam dan menyerempet paru-paru kiri serta bersarang disana. (lihat berita)

Tak pernah dimengerti mengapa timah keji itu memilih bersarang didadanya. Benar-benar dia tak mengerti, setidak mengerti mengapa kampungnya tiba-tiba diserbu tentara? Ah, Choirul mungkin juga tak bisa ingat ketika Mistin ibunya, rebah berkalang tanah dengan dada pecah.


Mistin


Tentu kita masih bisa membayangkan Mistin ditengah suasana kalut itu. Ada letusan senapan, ada jerit bingung para ibu, dan tangis anak-anak yang ketakutan semua melebur di siang itu.
Dalam suasana mencekam Mistin dibimbing nalurinya, naluri sebagai seorang ibu. Choirul digendongnya erat, di dekapkan lekat di dada. Sementara itu dia menyiapkan tubuhnya menyongsong lesat-pesat peluru itu.
Ya, Mistin memang menyediakan dirinya sebagai pelambat laju peluru tentara. Perbuatannya tak pernah sia-sia. Walau memang Mistin mati seketika. Tetapi buah hatinya Choirul, selamat.


Benar, Mistin hanyalah seorang ibu. Seperti ibu-ibu yang lain, dia akan sangat-sangat rela menukar jiwa untuk anaknya. Karena yang dilakukan Mistin bukanlah sebuah hal yang mewah bagi seorang ibu. Yakinlah, sekarang Mistin sedang tersenyum disana, senyum indah yang akan selalu di kenang dan menemani perjalanan manusia bernama Choirul Anwar kelak.


Ah, bahkan dalam membunuhpun mereka sangat berhemat. Satu peluru untuk dua sasaran.

Khotidjah

"Eman mak nek pohung iki gak diolah (sayang bu, bila singkong ini tidak dimasak)" mungkin itulah celetukan terakhir Dewi Khodijah kepada ibunya Selasa petang (29/5). Dua puluh empat jam kemudian parutan singkong itu masih teronggok di teras mushala. Hanya yang membedakan, mushola sekarang dipagari tulisan "Dilarang Melintas Garis Polisi Militer TNI Angkatan Laut"

Paginya belum lagi dia menyelesaikan parutan singkong itu, Khotidjah terkapar berdarah di depan pintu dapur dengan kepala pecah. Sebutir peluru senapan serbu melabrak pintu dapur. Tentu saja tembus. Belum cukup membuat kerusakam pada pintu, peluru itu menerjang kepala Khotidjah. Tembus dan merobek kepala kanannya. Khotodjah mati seketika. Yang lebih membuat
giris, dia membawa pergi janinnya yang baru berumur 4 bulan.

Betul peluru tak pernah bermata. Tetapi salah apa Dewi hingga pemilik peluru itu menghamburkan padanya. Kurang baik apa Dewi pada mereka ? Teh, kopi dan camilan yang disajikannya adalah bentuk "cinta dan bakti" pada mereka. Dewi jugalah yang menggelarkan karpet di mushala ketika mereka ingin hendak berdoa. Bahkan, parutan singkong itu sedianya hendak disuguhkan mereka.

Inilah potret tentara kita. Tentara yang ditakuti bukan disegani, tentara yang bahkan semua perlengkapan mereka kitalah yang membiayai. Termasuk peluru-peluru yang kemudian bersarang di tubuh
Choirul Anwar-Choirul Anwar, Mistin-Mistin, Khotidjah-Khotidjah yang tidak bersalah dan tidak tahu apa-apa. Ya, peluru-peluru itu dari rakyat untuk rakyat.

Acungkan tinju kita satu padu
- bersatu bulat semangat kita
ayo terus maju...
...

Tuesday, June 5, 2007

Alarm Peringatan Dini Tsunami.

Saat menulis ini aku masih menggunakan seragam kantor. Ini bukannya karena aku sedang istirahat makan siang atau lagi ingin bolos kerja (hi...ketauan suka bolos), tapi karena tiba-tiba orang seisi kantorku pada pulang dengan tergesa-gesa. Adanya isu tsunami membuat mereka yang bertempat tinggal di daerah pesisir laut langsung teringat dan khawatir kepada anggota keluarga yang di tinggalkanya.
Aku bukannya mau ikut-ikutan panik. Tapi lumayan, ada alasan buat pulang sekalian melihat informasi yang benarnya. Ternyata setelah diselidiki hanya air pasang bila purnama saja. Sebenarnya masyarakat biasanya sudah mengerti akan hal itu. Tapi yang bikin mereka panik adalah bertepatan dengan air pasang purnama itu, Alarm Peringatan Dini Tsunami di daerah Kahju (daerah pesisir pantai yang pora-poranda di hantam tsunami 26 Desember 2005) berbunyi.
Wah, kalau aku juga mendengar itu pastinya aku juga lari pontang-panting seperti mereka. Masih terngiang jelas diingatanku dan juga masyarakat Aceh tentang kedahsyatan Tsunami. Dan ternyata setelah alarm itu berbunyi dan masyarakat panik serta mungkin telah memakan korban (akibat kecelakaan lalu lintas), tak lama kemudian mobil penerangan memberitahukan bahwa ada konslet pada Alarm Peringatan Dini Tsunami tersebut dan masyarakat diharap tenang. Padahal kalau kalian berada dijalan raya tersebut, kalian akan lihat wajah-wajah ketakutan, ada yang sampai menangis dan histeris. Ah...Tsunami, kau begitu membekas dihati kami masyarakat Aceh.
Alhamdulillah...Syukurlah, walau agak sedikit gondok dengan konslet tersebut, yang penting tsunami itu tidak datang lagi. Tapi kami masyarakat Aceh sudah belajar dari pengalaman tentang bagaimana tsunami itu datang. Bagai mana harus bertindak dan sigap. Semoga masyarakat tidak kapok dengan kejadian ini, sehingga saat alarm itu benar-benar berteriak menyatakan akan ada tsunami, masyarakat malah santai saja menanggapinya (karena dikira Alarmnya konslet lagi). Baik teman, aku balik kantor lagi niy. Aku akan memberitahukan informasi Aceh terkini pada kalian semua. Selamat aktifitas.

Friday, May 25, 2007

Pesan Perlawanan dalam Tarian Aceh; Rapai Geleng

Tahu tarian Saman? Seudati? Iya benar. Itu adalah tarian khas Aceh yang sudah sangat terkenal di nusantara bahkan di dunia. Kali ini saya bukan sedang ingin membahas tentang Tari Saman atau Seudati yang sudah termasyur itu. Tapi saya ingin bercerita kepada semua tentang tari Rapai Geleng (adiknya tari Saman dan Seudati). Tari Rapai Geleng adalah seni tari berupa gerakan badan dipadukan dengan suara dan gerakan tangan,kepala dan anggota tubuh lainnya, dibawakan oleh 16 orang penari laki-laki dan 1 orang syekh. Rapai hampir sama dengan beduk akan tetapi bentuknya kecil dan sanggup diangkat dengan sebelah tangan persis sama dengan rebana akan tetapi dia agak sedikit tebal dan suaranya sangat besar. Saya tidak membahas tentang bagaimana tarian itu dibawakan atau diperagakan, tetapi saya ingin mmbahasa filosofi yang terdapat dalam tarian tersebut.

Teman saya menyebutnya : Pesan Perlawanan dalam Tarian Aceh; Rapai Geleng

Alhamdulilah Pujo Keu Tuhan. Nyang Peujeut Alam Langet Ngon Donya. Teuma Seulaweut Ateuh Janjongan. Panghulee Alam Rasul Ambiya

(Segala Puji kepada Tuhan. Yang telah menciptakan langit dan dunia. Selawat dan salam pada junjungan. Penghulu alam Rasul Ambiya)

Nanggroe Aceh nyo Tempat loun lahee. Bak Ujoung Pantee Pulo Sumatra. Dilee Baroo. Kon Lam jaro Kaphe. Jino Hana Lee Aman Sentosa

(Daerah Aceh ini Tempat lahirku. Di ujung pantai pulau Sumatera. Dulu berada di tangan penjajah. Kini telah aman dan sentosa)

Sederet syair yang dilantunkan kolosal sebelasan pria berkostum hitam kuning berpadu manik-manik merah, serempak menggeprak panggung dengan duduk bersimpuh menabuh rapa-i (rebana khas Aceh terbuat dari kulit kambing betina) dengan ritme teratur. Tiba-tiba, tetabuhan yang tadinya berirama satu-satu, lambat, berubah cepat di iringi dengan gerak tubuh yang masih berposisi duduk bersimpuh, meliuk ke kiri dan ke kanan. Itu tak cukup, gerakan cepat kian lama kian bertambah cepat. Bunyi tetabuhan rapa-i begitu dahsyat menghantam sesuatu paling dalam di jiwa, menggeser kepongahan, menghadirkan ketakjuban. Tak lama, dalam satu hentakan, seluruh gerak dan bunyi tadi tiba-tiba lenyap, hening, dan diam. Ada getar magis sesaat tetabuhan dan seluruh gerak sebelasan pria muda tadi berganti hening dan diam. Setidaknya itu kesan sepintas saat menyaksikan langsung pagelaran tarian Rapa-i geleng –tari tradisional Aceh-, kapanpun dan dimanapun. Namun sesungguhnya ada getar lain yang maha dahsyat ketika kita memahami seluruh ritme gerak tarian negeri seribu konflik itu. Pada dasarnya, ritme gerak pada tarian rapa-i geleng hanya terdiri dalam empat tingkatan; lambat, cepat, sangat cepat dan diam. Keempat tingkatan gerak tersebut merupakan miniatur karakteristik masyarakat yang mendiami posisi paling ujung pulau Sumatera, berisikan pesan-pesan pola perlawanan terhadap segala bentuk penyerangan pada eksistensi kehidupan Agama, politik, sosial dan budaya mereka. Pada gerakan lambat, ritme gerakan tarian rapa-i geleng tersebut coba memberi pesan semua tindakan yang diambil mesti diawali dengan proses pemikiran yang matang, penyamaan persepsi dan kesadaran terhadap persoalan yang akan timbul di depan sebagai akibat dari keputusan yang diambil merupakan sesuatu yang harus dipertimbangkan dengan seksama. Maaf dan permakluman terhadap sebuah kesalahan adalah sesuatu yang mesti di berikan bagi siapa saja yang melakukan kesalahan. Pesan dari gerak beritme lambat itu juga biasanya diiringi dengan syair-syair tertentu yang dianalogikan dalam bentuk-bentuk tertentu. Sebagai contoh bisa tergambar dari nukilan syair dari salah satu bagian tarian;

Meu nyo ka hana raseuki, yang bak bibi roh u lua. Bek susah sare bek sedeh hatee, tapie kee laen ta mita.

(Kalau sudah tak ada rezeki, yang sudah di bibirpun jatuh ke luar jangan lah susah, jangalah bersedih hati, mari kita pikirkan yang lain untuk di cari)

Kata “raseuki” yang bermakna “rezeki” dalam syair di atas, merupakan simbol dari peruntungan. Bagi masyarakat Aceh, orang yang melakukan perbuatan baik kepada mereka dimaknakan sebagai sebuah keberuntungan. makna sebaliknya, ketika orang melakukan perbuatan jahat, maka masyarakat Aceh mengartikan ketakberuntungan nasib mereka, dan ketakberuntungan itu merupakan permaafan. Gerakan beritme Cepat adalah gerak kedua, sesaat pesan yang terkandung dalam gerakan beritme lambat namun sarat makna usai dituturkan. Pada gerakan ini, pesan yang disampaikan adalah pesan penyikapan ketika perbuatan jahat, yang dimaknakan sebagai ketakberuntungan nasib, kembali dilakukan oleh orang atau institusi yang sama. Penyikapan tersebut bisa dilakukan dalam bentuk apapun, tapi masih sebatas protes keras belaka. Seperti bunyi syair di bawah;

Hai Laot sa, ilak ombak meu Aloun kapai die eik troun meu lumba Lumba hai bacut teuk, salah bukon sa Lah loun salah mu, lah poun awai bak gata

(Wahai Laut yang berombak mengayunkan kapal naik dan turun sedikit lagi kemasukan air, itu bukan salah ku, engkaulah yang mengawalinya)

Gerakan beritme cepat ini tak lama. Segera disusul dengan gerakan tari beritme sangat cepat mengisyaratkan chaos menjadi pilihan dalam pola perlawanan tingkat ketiga. Sebuah perlawanan disaat protes keras tak diambil peduli. Tetabuhan rapa-i pada gerakan beritme sangat cepat inipun seakan menjadi tetabuhan perang yang menghentak, menghantam seluruh nadi, membungkus syair menjadi pesan yang mewajibkan perlawanan dalam bentuk apapun ketika harkat dan martabat bangsa terinjak-injak. Cuplikan sajak “perang” nya “maskirbi” yang biasa dilantunkan menjadi syair dalam gerakan beritme cepat pada tarian rapa-i geleng ini bisa menjadi contoh sederetan syair-syair yang dijadikan pesan.

Doda idi hai doda idang. Geulayang balang ka putoh talo. Beureujang rayeuk banta siding. Jak tulong prang musoh nanggro

(doda idi hai doda idang –nyanyian nina bobo untuk anak- layangan sawah telah putus talinya cepatlah besar wahai ananda pergilah, perangi musuh negeri)

Pada titiknya, tiba-tiba semua gerakan tadi berhenti seketika, termasuk seluruh nyanyian syair sarat makna. Semua menjadi bisu, hening dan diam. Ini merupakan gerakan akhir dari tarian. Gerakan diam merupakan gerakan yang melambangkan ketegasan, habisnya semua proses interaksi. Bagi orang Aceh, gerak diam adalah gerak perlawanan abadi, di sana tak adalagi musuh, di sana tak adalagi teman. (sumber: Mandis-M Andi Sabri Kasturi-Arie)

Sebegitu kuatnya makna yang terkandung dalam tarian aceh ini. Namun sayang. Ketika tari tradisional Aceh diperkembangkan lebih jauh, banyak pakem dasar yang dilupakan atau ditinggalkan oleh para koregrafernya. Tari tradisi Aceh pun berubah menjadi tari kreasi baru, dengan pulasan keacehan ala kadarnya. Hanya demi “kepentingan” dan ambisi palsu koreografer tanpa terlebih dahulu mengetahui latar belakang atau filosofi yang terkandung di dalamnya. Para koreografer hanya berpatokan pada grafik ritmis setiap tari Aceh -- lambat, sedang, dan cepat -- yang sering mereka katakan “ruh” tari Aceh. Gerak dinamis khas tari Aceh jadi “terbongkar”.

Wednesday, May 23, 2007

H u R u F

Setelah beberapa saat disibukkan dengan cinta dan lalu aku menuangkannya dalam sebuah posting. Kini perhatianku tertuju pada “huruf”. Setelah membaca kembali tulisan-tulisanku diblog ini, terlihat sangat amburadul dan begitu jorok. Jorok dari segi teknik menulis. Mulai dari tanda baca, huruf, spell dll.
Aku teringat pada kata-kata temanku tentang apa itu menulis.Bintang Matahari (5/18/2007 2:28:54 AM): sebagai sebuah huruf yang dirangkai menjadi kata dan membentuk kalimat, itu sangat bermakna, dalam, dan menyentuh...

Tapi kata-kata berikutnya membuatku menjadi tersadar apa arti menulis itu sendiri. Menulis bukan hanya sekedar merangkai huruf-huruf yang kemudian tersusun menjadi kata dan kemudian membentuk kalimat, baik bermakna atau tidak sama sekali. Tetapi pada apakah tulisan-tulisan itu telah teraplikasi dalam kehidupan kita.

Kamu pasti kenalkan Khalil Gibran? dalam Sayap-sayap patah, The Prophet, Si Gila, dll. Khusus dalam Sayap-sayap Patah rangkaian katanya dahsyattttt…sangat dahsyatttttttttt dan mungkin tak tertandingi. Tapi masalahanya kupikir, that's just a word, nggak lebih. Kenapa? bahkan sampai ketika dia mati pun, dia selalu gagal dalam urusan cinta. Tidak seperti apa yang di tulisnya. So kupikir ini bukan berhenti semata-mata pada keahlian teknis menulis. Tetapi bagaimana tulisan tersebut adalah pandangan, ide bahkan kalau perlu itulah sikap hidup. Jangan dipisah, bahwa tulisan itu haruslah di jiwai dengan apa yang terjadi dan menjadikannya...dengan kata lain, jangan hanya berhenti pada titik menulis atau berpikir saja, but...buatlah kaki untuk tulisanmu. Biar dia bisa benar-benar melangkah dibumi dengan segala macam carut marutnya ini.

Begitu kata temanku suatu hari, saat itu aku merasa kesulitan dalam merangkai huruf menjadi kata, kemudian menjadi kalimat dan membentuk sebuah tulisan. Ya…dan aku sepakat untuk ini. Tulisan menurutku juga jangan hanya berhenti pada teknis menulis atau pemikiran saja. Tapi juga harus diusahakan menjejak dibumi alias aplikatif.

Dan yang bikin aku nyengir saat dia mengatakan untuk sebelum mengedit contents dari tulisanku sebaiknya aku mengedit dahulu tulisanku dengan hal-hal teknis, karena tulisan sebagus apapun, kalau nulisnya jorok akan kehilangan keindahnya. hi… dan kali inipun aku sepakat dengannya. Memang aku akui kalau teknik menulisku masih buruk. Tapi terus dalam tahap perbaikan. Terus belajar. Dan tak hanya itu, aku juga ingin dia tidak hanya menjadi makhluk mati. Kupikir tulisan juga mahkluk organis yang tumbuh dan bisa menjadi dewasa.

Saat menulis ini, aku menemukan salah satu puisi karya Pramoedya Ananta Toer yang berjudul sama dengan judul post ini. Berikut kutulis ulang buat yang membaca post ini sebagai penutup dari tulisanku ini.

HURUF

Wahai huruf,
Bertahun kupelajari engkau,
Kucari faedah dan artimu,
Kudekati kau saban hari,
Saban aku jaga,
Kutatap dikau dengan pengharapan,
Pengharapan yang tidak jauh
Dari hendak ingin dapat dan tahu.

Tetapi; kecewa hatiku.
Kupergunakan kamu
Menjadi senjata dialam kanan,
Agaknya belum juga berfaedah
Seperti yang kuhendakkan.
Selalu dikau kususun rapi
Di atas kertas pengharapan yang maha tinggi,

Tetapi …
Bilalah aku diliputi asap kemenyan sari,
Tak kuasa aku menyusun kamu
Hingga susunan itu dapat dirasakan pula
Oleh segenap dunia
Sebagai yang kurasa pada waktu itu.

Alangkah akan tinggi ucapan
Terima kasihku, bilalah kamu
Menjadi bukuterbuka,
Bagi manusia yang membacanya.

Kalaulah aku direndam lautan api,
Hendaklah kamu merendam pembacamu,
Bilalah aku disendu pilu,
Hendaklah kamu merana dalam hatinya.

Huruf, huruf….
Apalah nian sebabnya maka kamu
Belum tahu akan maksudku?

Pramoedya Ananta Toer
Sadar No.5 th. II,
10 januari 1947

Tuesday, May 22, 2007

Panggung

Kawan, jika kau duduk sambil memeluk lutut di perempatan sibuk ini, sementara mata yang menerawang lalu lalang nyalang hanya menangkap suwung, kau akan tahu bagaimana perasaan yang membuncah ruah di hati. Ada penat yang sumeleh, ada riang yang getir dan ada kengerian akan beranjak kemana kota ini dengan segala hiruk-pikuknya.

Ya, aku disini selalu gelisah kawan. Gelisah menunggui waktu yang alpa menjemput janji-Nya memenangkan si papa.

Disini adalah Jakarta, kota lupa diri yang gedung-gedung tingginya dibangun atas amnesia kolektif warganya plus segala simbol-simbol kemakmuran dan kejumawaan modalnya. Sementara perempatan-perempatannya selalu setia menegasikan simbol-simbol dan memilih menjadi potret yang hitam putih apa adanya.

Lihatlah lampu trafict yang menyala bergilir-gilir itu, dari merah, kuning kemudian hijau seolah menjadi penanda pertunjukan purba. Ada perjuangan, ada pecundang, ada aturan rimba yang dibudayakan dan ada darah serta air mata yang menetes-netes mencari tempat berpijak.

Pandanglah ketika lampu beranjak merah kawan! Jendela-jendela mewah keegoisan diketuk dengan nyanyian sumbang. Tubuh yang dibuai sejuknya pengatur suhu dan telinga yang dimanjakan oleh kenyamanan stereo atau mata yang terbiasa di disuguhi keteraturan dipaksa bersirobok dengan teriak penjaja koran, mata memelas pengamen buntung atau senyum mesum banci yang nanggung, mereka mengungkap satu hal. Penggugatan terhadap hak yang diabaikan penguasa.

Tetapi kawan, seperti kamu bilang mengutip sepenggal sajak Ho Chi Minh, "Pertandingan di mana-mana, satu harus menang, dan yang lain harus kalah" Ada pemenang dan ada pecundang begitu vonis sang takdir. Tak ada yang berubah.
Mungkin jendela itu mengintip sedikit, setipis uang logam -memang hanya untuk itu jendela mengintip- dan menutup tergesa meninggalkan denting logam yang mengadu aspal. Sisanya adalah asap dari knalpot berebut menyergap ketika kau memungutnya.
Kawan, jika kau duduk sambil memeluk lutut di perempatan sibuk ini, sementara mata menerawang lalu lalang yang nyalang menangkap suwung. Keherananku mungkin sama dengan Abu Dzar saat ia berkata, “Saya heran melihat mereka yang hidup kelaparan, tetapi tidak membawa pedang-pedang mereka dan mendatangi orang-orang kaya itu untuk mengambil harta mereka.”

Ya, Abu Dzar benar, pedang-pedang itu telah disarungkan dan dijinakan dengan segala dogma. Jakarta yang bebal memang tumbuh bersama nafsunya yang paling jorok dan menumpulkan. Tak aneh bila dia menjadi etalase dari negeri anomali yang malas berfikir akan keadilan. Keadilan bagi Jakarta dan negerinya adalah kosa kata yang hanya kencang di gedung-gedung untuk diperdebatkan dan terdengar sayup-sayup ketika sampai di perempatan. Disana pertanyaan yang berebut menghantui bukanlah besok makan apa? Tetapi , besok apa makan? Begitulah di ulang setiap harinya.

Ah, ini hanya soal tentang bagaimana memperpanjang nafas sampai besok. Dan nafas penyambung itulah yang dipertaruhkan di perempatan-perempatan dengan mengkais dan memungut. Ya, tak pernah menjadi MEREBUT !!

Benar, Jakarta adalah ironi, pengkhianatan dan srigala yang siap menelan siapa saja yang menolak dan mengguncang kemandekannya. Bahkan jauh sebelumnya, orang-orang seperti Pieter Erberveld dan Raden Kartadria-pun harus takluk ketika berencana makar terhadap VOC di pergantian tahun 1740. Meede, putri Pieter yang cantik, yang kasmaran pada opsir gantheng VOC memilih membocorkan rencana ayahnya pada kekasihnya.

Dan pesan penguasa kepada para pembangkang jelas setelah itu,
"Kepada Pieter Erberveld, warga kota, lahir di Batavia dari bapak seorang berkulit putih dan ibu berkulit hitam berusia 58 atau 59 tahun. Erberveld dan sekutunya Raden Kartadria hukumannya masing-masing diikat pada sebuah kayu salib. Tangan mereka masing-masing akan dipotong, lengan, kaki dan dada mereka akan dijepit dengan jepitan panas sampai kepingan-kepingan daging mereka terkelupas. Badan mereka kemudian akan dirobek dari bawah hingga atas, dan jantung mereka akan dilemparkan kemukanya. Setelah itu kepala mereka akan dipenggal dan dipasang pada tiang. Badan mereka yang telah berkeping-keping dibiarkan dimakan unggas"

Kisah lain menyebutkan kengerian yang sama untuk menghukum para pembangkang, bahwa tangan dan kaki Pieter diikat pada empat ekor kuda yang saling berlari kearah berlawanan. Ya, hingga tubuhnya terbelah empat.

Lalu sebuah monumen berbentuk tembok dan bercat putih diatasnya terpasang sebuah tengkorak manusia terbuat dari gips. Monumen itu tertulis : ''Sebagai kenang-kenangan yang menjijikkan akan penghianatan Erberveld ...... .'' Begitu dendamnya VOC pada Pieter, hingga siapapun melewati monumen itu boleh untuk mengencinginya.
Kini gambaran kisah tragis Pieter Erberveld menjadi nyata dalam keseharian, monumen-monumen pasar itu selalu mengencingi kemanusiaan kita. Siapa yang tak mendengar teriakan sumbang mereka di jalanan ketika suaranya menembus pekatnya awan berkarbon langit Jakarta? Semuanya mendengar, bahkan tembok-tembok jalanan, Ciliwung yang kotor sampai istana yang resik toh tetap sibuk dengan urusannya masing-masing, dan nyanyi itu pelan melenyap di telan sunyi.

Kawan, aku mendengar nyanyi sunyi tak lagi sesunyi yang di bayangkan Pram. Semua menjadi riuh dengan gemuruh yang memekakan dan berderap sigap menyongsong mimpi Kalabendu yang diangankan Ranggawarsita.
Ya, Jakarta sebagai panggung telah menyiapkan dirinya menjadi potret yang gagal dan absurd bagi keadilan. Dalam imajinasi manusianya, Jakarta bisa dan telah berarti apa saja. Sorga atau neraka, tumpukan sampah atau modal, semua hanya masalah seberapa yang kau punya untuk jalan kesana. Batas-batas telah dikemas menjadi setipis kulit ari dan mati bersama artinya. Selebihnya adalah horor yang menyergap dalam setiap fragmennya. Kematian dan kehidupan tak pernah mengajarkan sesuatupun selain pahit dan getir. Ya, Jakarta oleh semua telah menjadi rimba ‘the end justifies the means’. Dan Jakarta memang cabo.

Di layar tv orang tua berwajah ceria, berbangga untuk sebuah iklan, "Jakarta terapung, Jakarta punya monorel. Oke.. "

Entahlah, tiba-tiba dibenakku teringat cerita seorang kawan dari pinggiran Banjir Kanal tentang rumahnya, "Disepanjang bantaran kali itu, berderet-deret rumah saya dan senasib saya, tidak mirip rumah sebetulnya karena kalau di kampung tempat seperti itu lebih mirip kandang kambing. Atapnya plastik, sobekan terpal, atau rongsokan seng yang kadang kalau angin bertiup sedikit kencang saja semua berhamburan terbang. Dindingnya sama saja, sakketemune, kardus bekas TV, patahan papan atau apa saja asal bisa buat penghalang angin. Dan yang paling bikin saya ngenes adalah bila hujan, sejam saja hujan turun, rumah kami berubah menjadi kali. Seringkali saya merasa ikan sapu-sapu mungkin lebih beruntung dibanding kami. Tetapi, bagaimana lagi? Hanya disanalah saya menjalani hidup sebagai manusia. Dari hari kehari membangun harapan dan menyemai mimpi. Entah sampai kapan?"

Monday, April 30, 2007

Untuk pertama kalinya

Ini pertama kalinya aku menonton konser. Biasanya aku males banget kalau diajak untuk itu. Alasanku sederhana, aku tidak mau berdesak-desakan. Tapi kali ini karena Cek Wan (panggilan kawanku untuk Iwan Fals) yang bakal manggung, maka gak ada alasan buatku untuk tidak ikut nonton dia.
Duh, asyik banget...keren banget...(namanya juga fans-boleh dunk hiperbola). Dan yang bikin sedih, aku lupa membawa kamera digitalku untuk mengabadikan moment ini. Tapi tak mengapa, toh dia abadi juga di hati. Cuma sobekan tiket yang dapat kuselamatkan sebagai kenang-kenangan. Padahal aku sudah berusaha agar tiket itu tidak disobek, tapi penjaga pintu malah senyum saat aku bilang "duh disobek, padahal udah mahal-mahal belinya" Kawanku cuma bilang,"dasar ndesooooo..."
Buat Cek Wan, kapan niy main ke Banda Aceh lagi? Pakde Rendra dan Pakde Sawung Jabo juga...Aku tunggu loh...banget...

Hati-hati Penipuan!!!

Kasus penipuan semacam ini sangat marak sekarang di kotaku. Penipuan dengan modus kupon berhadiah yang terdapat dalam produk-produk terkenal.
Padahal nyata-nyata produk tersebut tidak sedang mengadakan undian dalam bentuk apapun. Mana hadiah yang diberikan gede-gede lagi. Paling kecil hadiah sepeda motor, rata-rata memberikan hadiah mobil dengan harga mahal.
Kasus yang menimpa tetanggaku, dia mendapat kupon berhadiah dari produk Unilever dengan hadiah sebuah mobil. Agak tergiur karena kali ini seperti mendapat durian runtuh, toh bukan penipu yang menghubungi kita. Namun karena ada acara kirim-kirim uang segala langsung deh jadi curiga.
Dan mamak langsung nyuruh adikku untuk melihat di internet apakah ada produk tersebut mengeluarkan undian berhadiah. Dan benar, ternyata undian itu hanya penipuan. Buat teman-teman, jangan mudah terpengaruh, sebaiknya mengecek ke costumer service produk yang bersangkutan atau ya seperti aku, coba lihat infonya di internet. JANGAN SAMPAI TERTIPU YA...

Wednesday, April 25, 2007

IBU

Sore itu saat aku sedang mengistirahatkan pikiran-pikiranku dari rutinitas yang menjemukan, aku mencoba mencari hiburan dengan menonton acara di dalam kotak hitam ukuran 29 inch di rumahku. Kutekan tanda power pada remote control tv ku, secara otomatis kotak hitam itu menampilkan acara dari stasiun tv pilihanku.
Sudah lumayan kurang aku menonton tv sekarang, sekedar melihat acara sinetron, film, reality show atau infotaiment sekarang ini, ini disebabkan aku lebih asyik dengan internet dan juga kesibukan kerja dan perkuliahanku.

Kali ini aku ingin menonton sesuatu yang menarik dari tayangan tv kali ini. Setelah beberapa kali mengganti chanel, akhirnya aku berhenti pada stasiun tv yang sedang menayangkan sebuah cerita pendek yang tak kukenal seorangpun pemainnya. Tampaknya aku ketinggalan bagian awal cerita, tapi aku tetap coba nyimak tontonan itu.

Bagus…

Menarik…

Alamiah…

Dekat dengan keseharian…


Tes…tes…
Tiba-tiba dari sudut mataku mengalir air. Semakin lama semakin banyak.

Tayangan ini menceritakan sebuah kejadian yang terjadi pada sebuah keluarga kecil yang sederhana. Sang ayah seorang buruh bangunan, sang ibu seorang ibu rumah tangga yang baik, serta seorang putri berumur sekitar 11 tahun dan putra berumur sekitar 4 tahun.

Sang kakak merasa akhir-akhir ini ibunya sering menyuruh-nyuruh dirinya untuk melakukan pekerjaan rumah. Mulai dari bereskan tempat tidur, mencuci piring, menyapu halaman, mengangkat jemuran, dan pekerjaan lainnya. Sewaktu ditanya kenapa pekerjaan itu hanya diserahkan kepadanya dan tidak kepada sang ayah, sang ayah berkata kalau itu tugas ibunya.
“oh, tugas ibu ya?” jawabnya seakan paham dan berlalu pergi.

Suatu sore ia mendengar ayahnya sedang berbicara dengan seseorang. “Maaf Pak, kami sudah selesai melakukan tugas-tugas kami dan kami berhak mendapatkan upah dari pekerjaan kami. Atau kami berhenti dari pekerjaan ini” ucap sang ayah.
“Dan ini rincian nya Pak,” sambung sang ayah sambil memberi lembaran tagihan biaya yang harus dibayarkan sang tamu.
“Baiklah kalau begitu, saya akan membayar tagihan ini besok, dan saya harap bapak dan teman-teman kembali bekerja lagi dan dapat menyelesaikan proyek ini” jawab sang tamu.

Saat mendengarkan pembicaraan antara sang ayah dan tamunya, si kakak mengangguk-angguk seakan mendapat pemahaman baru, bahwa bila seseorang telah menyelesaikan pekerjaannya, maka ia akan mendapatkan upah dari pekerjaannya.

Mulai detik itu perubahan tampak jelas dari tingkah laku si kakak ini. Tugas yang biasa malas-malasan dikerjakan kini dilakukan dengan semangat dan dia menjadi sangat rajin. Semua tugas dilakukan dengan segera dan sangat baik. Bahkan ia akan meminta kepada si ibu untuk memberikannya lagi tugas-tugas lain bila tugas yang diberikan oleh si ibu sudah selesai dikerjakannya.

Suatu hari, di sore yang cerah, ia menjumpai ibunya sambil membawa secarik kertas. “Bu…baca ini deh” ujarnya riang sambil memberikan kertas itu kepada si ibu.
“Apa ini?” Tanya si ibu.
“Pokoknya ibu baca saja deh,”sahutnya.
Dengan wajah penasaran sang ibu membuka kertas yang diberikan oleh si kakak.

Tagihan pekerjaan yang selesai ku kerjakan

1. Upah menjaga adik 2000 rupiah
2. Upah membersihkan halaman 1500 rupiah
3. Upah menyiram tanaman 1000 rupiah
4. Upah menyuci piring 1000 rupiah
5. Upah memberaskan tempat tidur 1000 rupiah
6. Upah menjaga rumah 500 rupiah……dst

Total upahku 10.000 rupiah

Membaca tulisan itu si ibu hanya tersenyum. “Sebentar ya nak,” ujarnya dan lalu bergegas masuk kekamarnya hendak mengambil sesuatu. Dan tak lama kemudian terlihat si ibu keluar dari kamarnya dan membawa sebuah amplop.
“Nah, ini untukmu,” ucap si ibu sambil menyerahkan amplop itu kepada si kakak.
Si kakak dengan wajah ceria dan berseri-seri menerima amplop yang diberikan oleh ibunya.
“Terima kasih ibu…” ujarnya sambil berlalu.

Kakak langsung mengambil sepedanya dan mendayungnya menuju taman yang berada di dekat rumahnya. Ia sudah tidah sabar ingin melihat upah yang dia terima selama mengerjakan tugas-tugas yang diberikan oleh ibunya. Setelah menemukan tempat yang enak, si kakak berhenti dan turun dari sepedanya.
Dengan hati berdebar-debar dibukannya amplop tersebut perlahan-lahan. Betapa herannya si kakak karena ia tak menemukan uang selembarpun didalam sana, yang ada hanya selembar kertas. Dikeluarkannya kertas tersebut dari dalam amplop, dibuka dan mulai dibacanya.

Tagihan ibu untukmu

1. Upah mengandungmu selama 9 bulan 10 hari gratis
2. Upah melahirkanmu dengan taruhan nyawaku gratis
3. Upah menyusuimu gratis.
4. Upah membersihkan popokmu gratis.
5. Upah bangun ditengah malam karena kau ngompol gratis.
6. Upah menjagamu disaat sakit gratis.
7. Upah menyuapimu gratis…dst

Total tagihan untuk kasih sayangku padamu GRATIS

Langsung si kakak melarikan sepedanya dengan cepat menuju rumahnya dengan airmata yang bercucuran.
Dari depan pintu rumahnya ia langsung berteriak-teriak memanggil-manggil ibunya. Si ibu yang sedang asyik mengobrol dengan sang ayah langsung menghampiri si kakak. Saat melihat sang ibu, si kakak langsung memeluk ibunya dengan masih terus menangis.

“Maafkan kakak bu, kakak sayang ibu,” ujarnya sambil terisak-isak kemudian terus menangis sambil terus memeluk sang ibu.
Dengan senyum bijaksana dan belaian lembutnya di rambut si kakak, si ibu hanya berkata “Ibu juga sayang sama kakak.”

Aku yang menyaksikan cerita itu langsung teringat pada ibuku. Duh…betapa banyak pengorbanannya padaku selama ini. Sampai aku jadi seperti sekarang ini. Bahkan aku belum bisa membalas jasanya sedikitpun.

Ibu (mamak kalau aku memanggilnya)……
Terima kasih atas segala pengorbanan dan kasih sayangmu padaku selama ini.
Tak ada yang dapat ku lakukan untuk membalas semua kebaikanmu.
Hanya doa teriring dalam setiap lirih suaraku kepada Sang Pencipta
“Seandainya aku bisa berbuat kebaikan, semoga ganjarannya diberikan juga untuk ibunda yang telah menjadi jalan terlahirnya aku ke dunia ini. Amin ya Rabbal Alamin”

Wednesday, April 11, 2007

Tempat Penitipan

Kulihat kau begitu kebingungan. Ah…biar saja. Salahmu sendiri, kau selalu tidak sabar. Padahal kau tahu perlu cara-cara tertentu untuk dapat terus bersamaku. Bahwa kau tahu aku selalu bisa diandalkan. Tetapi kau malah sering sesuka hatimu terhadapku. Kecerobohan dan ketidak-sabaranmu sering membuat aku panas dingin. Aku sering merasa tertekan secara fisik dan kejiwaan karena sikapmu. Kau tempatkan aku sesukamu. Kadang buku-bukumu yang tebal itu menghimpitku dalam tas yang sejak dari kau beli belum sekalipun kau cuci sampai sekarang, itu bisa kutahu dari baunya. Belum lagi bila kau membawa makanan yang masih hangat sebagai bekal makan pagimu dikantor atau sekadar minuman dingin untuk menghilangkan haus ditempat kuliahanmu. Padahal banyak hal-hal yang penting yang kau titipkan kepadaku untuk kusimpan, aku bagai tempat penyimpanan bagimu yang dapat sewaktu-waktu kau ambil bila kau perlukan. Dan kau meletakkan ku begitu saja dalam tas besarmu itu, terhimpit, kepanasan, kedinginan disana.

Kau masih terus mencoba untuk dapat membuka gambar yang kau titip padaku kemarin, gambar yang kau peroleh saat browsing di internet. Namun tetap gagal. Kau berusaha membuang semua titipanmu padaku, tapi sayang kau tetap bisa. Ku rasa kau membutuhkan bantuan orang lain untuk dapat melakukan itu, membuat aku seperti sediakala, bersih tanpa satupun barang titipan darimu.

Aku tahu kau sayang padaku. Itu terlihat dari asesoris yang kau kenakan padaku. Sebuah gantungan berbentuk mickey mouse berwarna merah jambu dengan cantelan bintang bermatakan warna yang sama. Tapi kau hanya mempercantiku saja, dan memperlakukanku dengan buruk sekali.

Kurasa ini sudah menjadi pelajaran bagimu. Bila hal-hal yang kau titipkan kepadaku kau rasa penting maka lakukan prosedur tertentu terhadapku.

Paling tidak kau bisa melakukan Safely Remove Hardware
Kau tinggal meng-klik “safely remove USB mass storage device-drive(…)”
Menunggu beberapa saat, dan aku sudah bisa aman untuk kau cabut dari computer dan satu lagi tolong kau letakkan aku di tempat yang baik. Tidak terhimpit-himpit, kepanasan dan kedinginan. Ini untuk kelanggengan kebersamaan kita.

Terimakasih…by Data Traveler 512MB milikmu

Kekuatan Pujian

Ini kisah nyata tentang seorang penyanyi terkenal di Eropa, wanita bersuara bagus. Dia bersuamikan seorang pemusik dan seorang pengarang lagu. Begitu pandainya sang suami ini tentang lagu, nada, birama, dan hal lain di bidang musik, sehingga dia selalu menemukan apa yang harus dikoreksi ketika isterinya menyanyi.

Kalau isterinya menyanyi, selalu saja ada komentar dan kritik seperti; bagian depan kurang tinggi. Lain kali dia berkata, bagian ini kurang pelan. Kali lain dia mengkritik, "bagian akhir harusnya "kres".. naik sedikit.

Selalu saja ada komentar pedas yang dia lontarkan kalau isterinya menyanyi dan bersenandung. Akhirnya wanita itu malas menyanyi.Dia berkeputusan "Wah, tidak usah menyanyi saja, jika semua salah. Malah kadang menjadi pertengkaran..."

Singkat cerita, karena suatu musibah, sang suami meninggal dan lama setelah itu si wanita menikah lagi dengan seorang tukang ledeng. Tukang ledeng ini tidak tahu menahu soal musik. Yang ia tahu isterinya bersuara bagus dan dia selalu memuji isterinya kalau bernyanyi.

Suatu ketika isterinya bertanya, "Pak, bagaimana laguku?"
Dia menjawab antusias, "Ma, saya ini selalu ingin cepat pulang karena mau dengar engkau menyanyi."
Lain kali dia berkata, "Ma, kalau saya tidak menikah dengan engkau, mungkin saya sudah tuli karena bunyi dentuman, bunyi gergaji, bunyi cericit drat pipa ledeng, gesekan pipa ledeng dan bunyi pipa lainnya yang saya dengar sepanjang hari kalau saya bekerja. Sebelum saya menikah denganmu, saya sering mimpi dan terngiang-ngiang suara gergaji yang tidak mengenakkan itu ketika tidur. Sekarang setelah menikah dan sering mendengar engkau menyanyi, lagu mu lah yang terngiang-ngiang"

Istrinya sangat bersuka cita, tersanjung. Hal itu membuat dia gemar bernyanyi, bernyanyi dan bernyanyi. Mandi dia bernyanyi, masak dia bernyanyi dan tanpa disadarinya dia berlatih, berlatih dan berlatih.

Suaminya mendorong hingga dia mulai merekam dan mengeluarkan kaset volume pertama dan ternyata disambut baik oleh masyarakat. Wanita ini akhirnya menjadi penyanyi terkenal, dan dia terkenal bukan pada saat suaminya ahli musik, tetapi saat suaminya seorang tukang ledeng, yang memberinya sedikit demi sedikit pujian ketika dia menyanyi.

Sedikit pujian memberikan penerimaan. Sedikit pujian memberikan rasa diterima, memberikan dorongan, semangat untuk melakukan hal yang baik dan lebih baik lagi. Sedikit pujian dapat membuat seseorang bisa meraih prestasi tertinggi. Omelan, bentakan, kecaman, amarah atau kritik sesungguhnya tidak akan banyak mengubah.

Lama Panggilan 00:03:23

Tut…tut…tut…tut…tut…tu…
“Halo” sahut suara dari seberang hp ku.
“Halo, Assalamualaikum”
“Waalaikumsalam” jawab suara itu lagi.
“Belum tidur Mo?” tanyaku basa-basi.
“Mau tidur ni”
“Aku ngeganggu ya?”
“iya” jawabmu tanpa basa-basi.
“hihihihi….” Jujur banget niy orang. Tapi aku suka kamu yang begini
“Apa kabar Mo?”
“Baik. Hanum apa kabar?”
“Baik. Sehat banget malah, sekarang Hanum malah udah gemuk”ujarku dengan suara riang
“Senang ya?” ujarmu datar.

Aku lalu menjelaskan bahwa kemarin aku ke Tangse dan disana kerjaku makan tidur, makanya aku jadi gemuk. Memang itu cuma alasanku saja. Aku tidak ingin kamu berfikir bahwa sekarang aku senang dan saat-saat dulu aku bersamamu aku tidak senang. Aku menikmati kebersamaan kita kok.

Setelah berbicara dengan singkat lalu kita memutuskan obrolan kita,“Ya udah ya Mo, salam buat Teguh”
Teguh, adik sepupumu yang saat ini bersamamu di Kota Kembang itu untuk berlibur.
“Iya. Commo mau tidur, capek seharian jalan”
“Assalamualaikum” lanjutmu.
“Wa alaikumsalam” jawabku.
Tut……..tertulis di hp ku lama panggilan 00:03:23

Ini obrolan pertama kita. Setelah kita memutuskan untuk tidak bersama lagi dalam ikatan yang disebut “pacaran” oleh kebanyakan orang, sejak itu kita tidak saling ngobrol dan berjumpa lagi. Hanya pesan-pesan singkat melalui sms yang kita lakukan sekedar menayakan kabar, itupun bisa dihitung dengan jari.

Ada rasa kangen untuk berjumpa sekedar menatap wajahmu dan ngobrol sekedar mendengar suaramu dan menyimak setiap kata-katamu saat membacakan monolock-mu di tidur malamku.

Sampai jumpa lagi Mo…aku kangen lho… :)

Tuesday, April 10, 2007

Request

Berawal dari perkenalan dalam dunia maya yang aneh dengan mu. Kau jauh tapi begitu dekat bagi ku. Sosok mu mengingatkan ku pada saudara laki-laki ku. Sekarang kau sedang berada di negeri perantauan. Negeri sakura kata mu, Negeri Matahari terbit kataku. Sikapmu yang bijaksana membuat aku bersimpati kepada mu. Belum lagi kau begitu memperhatikan ku, mau bersusah payah mengajarkan ku bahasa negeri sakura itu. Walau aku sudah menyerah duluan sebelum kau mengajari ku.

“Asal ada kemauan pasti bisa kok. Siapapun klo mau belajar pasti pinter. Gak ada istilah orang goblok, yang ada cuma orang males aja” (ex.civic_falestra :2/5/2007 8:21:40 PM) begitu ujar mu saat aku merasa kesulitan mempelajari bahasa negeri penjajah yang pernah menjajah Indonesia selama kurang lebih tiga tahun setengah itu.

Sebagai anak Surabaya engkau juga tidak melupakan bahasa daerahmu. Kau juga fasih dengan bahasa daerahmu. Yang membuat aku kagum kau selalu mau berbagi ilmu apa saja kepadaku. Termasuk ilmu buat ngerjain orang-orang yang mengganggu Room Jakarta Global 54 atau 67 kesayanganmu juga aku.

Terus terang saat melihatmu pertama kali melalui webcam aku kaget, karena kau berbeda dengan sosok yang ku bayangkan selama ini. Dari ciri-ciri fisikmu aku bisa tahu kalau kau bukan asli keturunan nusantara, dan ternyata benar. Kau lahir dari rahim seorang wanita asal Jawa dan memiliki ayah seorang keturunan Thionghoa. Tapi itu nggak membuat aku terus menjauhi mu. Malah aku ingin lebih mengenalmu. Kau orang yang asyik untuk diajak ngobrol. Mulai dari tentang pengalaman hidup, tekhnologi sampai hal-hal baru yang lagi trend sekarang ini.

Kau seorang pekerja yang ulet menurut ku. Itu ku tahu dari ceritamu yang telah melang-lang buana hampir ke seluruh pulau di nusantara ini untuk bekerja. Mulai dari bekerja di toko roti sampai di perusahaan Futuba sekarang ini di negeri Sakura itu. Dan semua kau lakukan dengan penuh suka cita. Bagimu bekerja seperti berekreasi, kau nikmati setiap detiknya. Malah kini kau menguasai banyak bahasa daerah lain tempat kau pernah mampir dan bekerja disana.

Masa lalumu sudah mengubah cara berfikir dan bersikapmu. Itu yang kutangkap saat berbincang denganmu tentang keluargamu. Seakan itu jadi cambuk bagimu. Kini kau menjadi lebih sayang dan peduli kepada orang tua, keluarga, teman dan orang-orang disekelilingmu, seperti kepada ku, hihihi.....
Dan kau telah meninggalkan kebiasaan-kebiasaan buruk mu.

"Hajime mashite" Itu kalimat pertama yang kau ajarkan kepadaku saat memulai belajar bahasa sakura itu.

Dan kau menerjemahkannya sebagai "Perkenalkan nama saya", lalu kau lanjutkan dengan kalimat-kalimat lain yang terdengar asing di telingaku, tapi mengasyikkan dan seru. Kadang dengan bahasa itu aku menyapamu di Room kita. Membuat para chatter di room itu keheranan, mungkin lebih tepatnya iri. Haha...
Itu menjadikan kau terasa semakin dekat padaku. Lain waktu kau mengajarkan aku untuk menggunakan program-program baru dari internet, dan dengan sabar kau membimbingku, padahal aku gaptek (gagap tekhnologi) banget. Temanku saja suka sebel kalau mengajari aku menggunakan layanan-layanan di internet ini, suka nggak ngerti-ngerti (semoga temanku nggak membaca tulisan ini). Dan membuat kesabarannya hilang. Hihihi...
Suatu hari kau mengatakan minta dibuatkan tulisan untukmu di blog aku yang masih bayi ini. Aku langsung setuju. Tapi aku nulis apa ya?

"Buatkan saja puisi untuk ku" ujarmu memberi ide.

"Ah mana bisa aku buat yang kayak gitu mas" Lalu aku mulai berfikir untuk membuat sebuah tulisan dengan latar belakang perkenalan kita dan saat aku belajar bahasa Jepang bersamamu.

Nah, ini hasil tulisanku mas. Jelek ya. Maklum amatir.

Hi...
Arigato...
sayonara, matta aimasyo...