Thursday, June 28, 2007

Part II; Lawuku

Naik gunung adalah sesuatu yang asyik. Udara yang sejuk, hijaunya pepohonan, kesunyian yang mistis serta keluasan dalam memandang. Pemandangan dikaki bukit tentu berbeda dengan pandangan di puncak bukit. Namun terkadang kita yang berada dikaki gunung sudah merasa puas dengan pemandangan yang dikaki gunung, padahal bila kita mau bersusah payah sedikit saja, kita akan menemukan pemandangan yang lebih luas lagi dari puncak gunung. Setiap tempat memberikan pemandangan yang berbeda, namun keluasan penglihatan yang berada dipuncak pasti lebih luas dari yang berada di kaki gunung.

Mendaki gunung bukan saja hanya kegiatan fisik semata. Bahwa kita mendaki dari kaki gunung perlahan-lahan naik akhirnya sampai pada puncak gunung. Mendaki gunung lebih dari itu, selain kekuatan fisik juga dibutuhkan kekuatan mental serta keterampilan dalam membaca alam.

Bila hanya mengandalkan kekuatan fisik ada kemungkinan kita kalah dalam berjuang mencapai tujuan pendakian. Karena para pendaki-pendaki tangguh itu tidak hanya mengandalkan kekuatan fisiknya saja dalam melakukan pendakian namun keterampilan mereka membaca alam sangat membantu mereka untuk menghemat tenaga dalam pendakian. Karena bagiku yang baru pertama kali naik gunung, wuih...capek banget. Apalagi harus bertarung dengan alam yang bila tiba-tiba kurang bersahabat, bisa dibayangkan kelelahannya. Dan untuk menghindari itu biasanya pendaki sudah dibekali dengan pengetahuan tentang "membaca alam".


Selain kelelahan fisik, biasanya yang menambah berat adalah kelelahan mental. Kita bisa merasa begitu hopeless saat tidak tahu seberapa jauh kita akan terus mendaki? Apakah bekal kita cukup untuk sampai dan kembali lagi? Ditambah dengan mitos-mitos yang menyeramkan tentang gunung yang akan kita daki. Bila tidak kuat, bisa-bisa sepanjang perjalanan adalah neraka bagi kita.

Ini kisahku, sebagai seorang cewek yang baru pertama mendaki gunung aku begitu antusias untuk naik gunung. Walau secara historis aku tidak pernah berjalan jauh ditambah fisikku yang tidak begitu kuat. Setelah mebujuk seorang teman yang biasa naik turun gunung, maka berangkatlah aku bersamanya ke Solo. Dari Solo kami melanjutkan perjalanan menggunakan bus menuju terminal Tawangmangu, lalu naik angkot untuk kemudian sampai ke Cemoro Kandang. Lalu istirahat sejenak dan segera melapor kepada PERUM PERHUTANI di base camp dengan membayar karcis tanda masuk sebesar Rp. 3.500/orang. Disana juga tertulis Cemoro Kandang- Puncak Lawu hanya 5-6 jam saja.

Maka pendakianpun dimulai. Dengan mengunakan baju kaos dan celana kain serta sendal jepit(soalnya sepatuku kurang nyaman), aku memulai pendakian itu. Sebentar-sebentar aku istirahat, untunglah temanku ini tipe yang sabar. Dia selalu menunggu aku setiap berhenti untuk mengambil nafas dan menghimpun tenaga kembali. Udara Lawu saat kita masih di Cemoro Kandang sudah dingin, namun atas saran temanku aku tetap menggunakan baju kaos biasa aja, agar saat mendapatka suhu yang lebih extrim sebuah baju hangat akan terasa kegunaannya.

Setapak demi setapak aku lalui, rasanya berat banget. Agak lega saat mencapai post I di ketinggian 2.300 Dpl. Lalu mulai berjalan lagi untuk mencapai pos ke II yang hampir sama jauhnya dari base camp-post pertama, hanya saja ketinggian yang di capai tidak terlalu terjal sehingga perjalanan lebih cepat, walau jaraknya lebih jauh yaitu sekitar 1.5km, lebih panjang 0.3km dibanding base camp dan post pertama yaitu sekitar 1.2km. Setelah itu bagiku mulailah penderitaan itu dimulai.

Post ketiga yang menjadi tujuanku tidak kunjung juga kutemukan, padahal jarak dan waktu yang kutempuh sudah lebih dari jarak dan waktu sewaktu di post I dan post II. Ditambah udara yang semakin dingin dan hari yang semakin gelap. Mulailah hantu-hantuan dipikiranku datang.

Mulai dari udara yang sudah bertambah dingin, hari yang gelap, lalu jalan yang dimataku terlihat begitu menyeramkan. Bila ada jalur yang sedikit terjal aku mulai ragu untuk melankah. Dengan bantuan sebuah senter aku juga terus berjalan. Aku harus menemukan post untuk beristirahat. Aku sudah sangat lelah.

Untunglah temanku bisa menenangkanku. Dengan segala filosofinya tentang apa sebenarnya tujuan naik gunung dan menikmati setiap langkah, kelelahan dan semuanya yang kita rasa disaat mendaki gunung. Maka pikiranku mulai beralih kehal-hal tersebut. Didalam keadaan hopeless itu dia mengingatkan, bahwa setiap perjalanan pasti ada akhirnya. Lelah ini tidak akan selamanya. Bahwa saat akhir (yaitu puncak) itulah akhir pendakian ini, untuk selanjutnya beristirahat dan kita harus kembali menuruni gunung ini.

Ada perkataannya yang menambah semangatku. "Sepertinya post tiga sudah kita lewati deh, karena gelap kita tidak sengaja sudah melewatinya". Dalam hatiku sedikit terhibur, berarti perjalananku tidak jauh lagi untuk sampai puncak. Karena dari post empat, tinggal satu post lagi untuk sampai ke puncak, iya...satu post lagi.

Lalu sampailah kami si sebuah post dan temanku berkata "Alhamdulillah, ternyata kita masih di post tiga". Sontak aku berteriak "Anjriiiiiiiiiiiiiiiiiitttt...pokoknya besok kita langsung turun. Nggak usah jalan sampai puncak lagi. Aku nggak kuat, cukup...cukup...". Temanku hanya tersenyum. Ternyata cerita tentang post tigapun adalah akal-akalannya saja. Dia tahu persis dimana letak setiap post, dia udah puluhan kali naik Lawu. Itu hanya motivasi untukku.

Maka akhirnya kami bermalam di post tiga. Namun penderitaan tidak berakhir disitu saja. udara yang sangat dingin bikin aku panik, sehingga tiba-tiba aku susah bernafas, ditambah lagi suara krasak krusuk di luar sleeping bag bikin aku tidak bisa tidur dan bawaan ingin pipis terus (mana airnya sedingin air kulkas untuk cebok). Malam menjadi sangat panjang dengan semua penderitaan itu. Saat melihat mentari pagi, barulah aku bisa melihat secercah harapan.

Lalu kami siap-siap untuk menuruni gunung lawu itu. Menuruninya dari post tiga, temanku sempat menanyakan apakah aku yakin tidak mau melanjutkan untuk sampai kepuncak? Dan aku sudah sangat yakin dengan keputusanku itu. Sangat yakin dengan kemampuanku. Bagiku sudah merasakan naik gunung, sedikit mengetahui filosofi yang didapat dari naik gunung dengan aplikasi kehidupan sehari-hari sudah cukuplah. Lain kali saat tubuhku fit untuk naik gunung lagi, mungkin aku akan kembali. Kembali menikmati hijaunya pohon, setiap hembusan nafas yang berjuang karena kelelahan, kesunyian yang mistis dari mendaki gunung.

Terimakasih teman...
Terimakasih Lawuku...
Kalian banyak mengajarkan kepadaku tentang kehidupan selama kebersamaan kita disana mulai dari cemoro Kandang sampai Penggik.