Wednesday, June 6, 2007

Marinir, Dari Rakyat dan Untuk Rakyat Peluruku


Choirul Anwar


Hari masih pagi benar ketika dia siuman. Memanggil emaknya dan menangis sebentar, tentu saja emaknya tak ada. Dia diam merasai
ngelangut yang menjalar. Emak kembali dipangilnya, hanya sepi yang menjawab.

Matanya kembali berkabut pasrah menerawang. Menembus batas langit-langit. Ketika akhirnya dia memilih tertidur lagi, bisa jadi mungkin karena capek, sakit dan tak berdaya.

Bocah kecil itu namanya Choirul Anwar. Pagi sehari sebelumnya matanya sangat bercahaya, memandang takjub satria yang berbaris tegap di jalanan kampungnya, gagah dan bersenjata lengkap. Ya, dimatanya pagi itu para satria adalah bayangan Pandawa yang berangkat menyongsong
Baratayuda Jayabinangun menumpas angkara Kurawa.

Untung tak dapat diraih dan malang memilih jalannya yang paling muskil. Padang
kurusetra itu berpindah kekampungnya di Alas Tlogo, Lekok, Pasuruan.

Masih diingat jelas hari itu. Dia menjerit dan menjerit sangat ketakutan ketika para satria itu menyumpah, memaki, mengejar, memukul, menendang sambil menghamburkan
mimis-nya.

Pekaknya rentetan senapan bagi anak berumur tiga tahun adalah petir tengara kiamat. Sementara jerit takut dan teriak ibu-ibu yang menangis bingung adalah hymne kematian yang aneh. Ya, keduanya bersepakat merobek atmosfir panas siang itu menjadi warna darah.

Choirul juga masih ingat ketika tiba-tiba dadanya dirasa merebak panas. Panas yang belum pernah dirasainya. Benar, dada kecil itu dalam sekejap penuh oleh serpihan timah yang menyembur dari laras SS1 para satria laut itu. Timah itu menembus kejam melintas di dadanya, kemudian menelusup kedalam dan menyerempet paru-paru kiri serta bersarang disana. (lihat berita)

Tak pernah dimengerti mengapa timah keji itu memilih bersarang didadanya. Benar-benar dia tak mengerti, setidak mengerti mengapa kampungnya tiba-tiba diserbu tentara? Ah, Choirul mungkin juga tak bisa ingat ketika Mistin ibunya, rebah berkalang tanah dengan dada pecah.


Mistin


Tentu kita masih bisa membayangkan Mistin ditengah suasana kalut itu. Ada letusan senapan, ada jerit bingung para ibu, dan tangis anak-anak yang ketakutan semua melebur di siang itu.
Dalam suasana mencekam Mistin dibimbing nalurinya, naluri sebagai seorang ibu. Choirul digendongnya erat, di dekapkan lekat di dada. Sementara itu dia menyiapkan tubuhnya menyongsong lesat-pesat peluru itu.
Ya, Mistin memang menyediakan dirinya sebagai pelambat laju peluru tentara. Perbuatannya tak pernah sia-sia. Walau memang Mistin mati seketika. Tetapi buah hatinya Choirul, selamat.


Benar, Mistin hanyalah seorang ibu. Seperti ibu-ibu yang lain, dia akan sangat-sangat rela menukar jiwa untuk anaknya. Karena yang dilakukan Mistin bukanlah sebuah hal yang mewah bagi seorang ibu. Yakinlah, sekarang Mistin sedang tersenyum disana, senyum indah yang akan selalu di kenang dan menemani perjalanan manusia bernama Choirul Anwar kelak.


Ah, bahkan dalam membunuhpun mereka sangat berhemat. Satu peluru untuk dua sasaran.

Khotidjah

"Eman mak nek pohung iki gak diolah (sayang bu, bila singkong ini tidak dimasak)" mungkin itulah celetukan terakhir Dewi Khodijah kepada ibunya Selasa petang (29/5). Dua puluh empat jam kemudian parutan singkong itu masih teronggok di teras mushala. Hanya yang membedakan, mushola sekarang dipagari tulisan "Dilarang Melintas Garis Polisi Militer TNI Angkatan Laut"

Paginya belum lagi dia menyelesaikan parutan singkong itu, Khotidjah terkapar berdarah di depan pintu dapur dengan kepala pecah. Sebutir peluru senapan serbu melabrak pintu dapur. Tentu saja tembus. Belum cukup membuat kerusakam pada pintu, peluru itu menerjang kepala Khotidjah. Tembus dan merobek kepala kanannya. Khotodjah mati seketika. Yang lebih membuat
giris, dia membawa pergi janinnya yang baru berumur 4 bulan.

Betul peluru tak pernah bermata. Tetapi salah apa Dewi hingga pemilik peluru itu menghamburkan padanya. Kurang baik apa Dewi pada mereka ? Teh, kopi dan camilan yang disajikannya adalah bentuk "cinta dan bakti" pada mereka. Dewi jugalah yang menggelarkan karpet di mushala ketika mereka ingin hendak berdoa. Bahkan, parutan singkong itu sedianya hendak disuguhkan mereka.

Inilah potret tentara kita. Tentara yang ditakuti bukan disegani, tentara yang bahkan semua perlengkapan mereka kitalah yang membiayai. Termasuk peluru-peluru yang kemudian bersarang di tubuh
Choirul Anwar-Choirul Anwar, Mistin-Mistin, Khotidjah-Khotidjah yang tidak bersalah dan tidak tahu apa-apa. Ya, peluru-peluru itu dari rakyat untuk rakyat.

Acungkan tinju kita satu padu
- bersatu bulat semangat kita
ayo terus maju...
...