Saturday, June 30, 2007

Juli di bulan Juni

Aku lahir dibulan Juli, tapi Juni adalah bulan yang yang penuh kenangan bagiku. Akulah Juli di bulan Juni. Banyak tawa dan air mata yang datang silih berganti, tak ada seharipun yang dilewati dengan kehampaan. Penuh warna, tak hanya hitam dan putih saja. Juli melihat banyak pelangi di bulan Juni. Di bulan Juni, Juli banyak belajar tentang kehidupan. Belajar dari melihat, merasakan, memahami dan akan terus belajar.

Banyak cerita di bulan Juni. Dari butanya akan dunia sampai mulai melangkah menuju cahaya. Ke-Juni-an lah yang mengajarkan Juli untuk tetap hidup dalam setiap bulannya. Junilah yang membuat hari-hari Juli terasa lebih indah. Kenangan Juni membuat hari-hari Juli menjadi lebih berarti.

Juni pernah berkata kepada Juli "Lawan rasa takutmu...hadapi..hadapi..."

Dari Juni, Juli belajar bahwa dunia bukan hanya melihat bintang bulan dan matahari saja. Tetapi dari dunia juga terlihat hamparan karpet lusuh kelaparan dan kemiskinan serta ketidak adilan. Ya, dunia terdiri dari gunung-gunung tangis dan jerit kesakitan. Dunia adalah pahitnya buah dari pohon nasib dan kumpulan kemelaratan dari sungai penjajahan yang kekal.

Juni pernah menunjukkan kepada Juli bahwa terkadang batas surga dan neraka hanya terpisahkan oleh setipis tembok atau segaris pembatas jalan. Juni juga sering memperlihatkan air mata dukanya kepada Juli, saat melihat sebagian anak yang bermain di pusat hiburan dituntun oleh seorang perawat cantik, menggunakan kereta dorong bersama orang tuannya yang berjalan angkuh. Sementara disebelah dinding lainnya, ada anak-anak yang dengan telanjang kaki sedang berjuang untuk hidup. Menjajakan minuman dingin demi dapat makan hari ini tanpa pernah tahu siapa orang tuanya.

Seringkali Juni tersenyum sinis kepada Juli. Senyum itu seakan-akan berkata, "bukankah duniamu berada dibelahan dunia si anak penjual minuman itu?"
Lalu, Juni hanya tertunduk dengan ekspresi muka yang bercampur baur.

Juli banyak diam saat Juni memperlihatkan bahwa sebenarnya segala fasilitas yang ditawarkan para kapitalis itu bukanlah kebutuhan yang benar-benar Juli butuhkan. Demi kertas toilet untuk membersihkan kemaluan dan lubang anus atau tissue untuk pembersih kotoran dari topeng-topeng yang dikenakan si kaya, berapa banyak pohon yang ditebang? Yang mengakibatkan longsor dan menimbun rumah para penduduk yang tidak pernah mengecap lembutnya kertas toilet dan tissue. Karena mereka selamanya telah mencukupkan diri menggunakan air untuk cebok dan menggunakan kain untuk nge-lapnya. Demi memberikan kenyamanan pada si kaya saat berada di Mall, Cafe atau Restauran berapa banyak energi yang dibutuhkan lalu mengakibatkan pemanasan global? Sedang saat pemanasan global itu terjadi bukan hanya si kaya yang terkena efeknya, tapi si miskinpun terkena getah nangka yang tidak pernah dia kecap manisnya.

Juli kembali terdiam. Entahlah, Juni seakan tidak perduli apakah Juli paham atau tidak. Bagi Juni inilah dunia, baik Juli paham atau tidak, baik juli tahu atau tak mau tahu.
Tapi apakah Juli seonggok batu tanpa perasaan?

Kenyamanan hidup telah membuat urat-urat kepedulian sosial Juli resisten terhadap kejadian di sekitarnya. Sebuah jentikan jari Juni semoga bisa menyadarkan Juli dari mimpi panjang tentang "dunianya". Dunia yang berisi kenyamanan dan ketersediaan segala kebutuhannya.

Juni berharap, sekarang Juli paling tidak sadar bahwa saat menggunakan tisseu untuk membersihkan wajahnya dibagian gunung sana sebuah pohon telah berkorban untuk ditebang. Sadar saat Juli menggunakan lampu listrik dirumah, efek pemanasan global juga terkena pada yang tidak pernah merasakan terangnya malam berlampukan listrik.

Juli...
Juni banyak menitipkan harapan padamu

Jentikan Juni...
Semoga tidak menjadi tamparan.

Pelangi...
Kini warnamu tampak lebih indah dari biasanya dimata Juli.

Thursday, June 28, 2007

Part II; Lawuku

Naik gunung adalah sesuatu yang asyik. Udara yang sejuk, hijaunya pepohonan, kesunyian yang mistis serta keluasan dalam memandang. Pemandangan dikaki bukit tentu berbeda dengan pandangan di puncak bukit. Namun terkadang kita yang berada dikaki gunung sudah merasa puas dengan pemandangan yang dikaki gunung, padahal bila kita mau bersusah payah sedikit saja, kita akan menemukan pemandangan yang lebih luas lagi dari puncak gunung. Setiap tempat memberikan pemandangan yang berbeda, namun keluasan penglihatan yang berada dipuncak pasti lebih luas dari yang berada di kaki gunung.

Mendaki gunung bukan saja hanya kegiatan fisik semata. Bahwa kita mendaki dari kaki gunung perlahan-lahan naik akhirnya sampai pada puncak gunung. Mendaki gunung lebih dari itu, selain kekuatan fisik juga dibutuhkan kekuatan mental serta keterampilan dalam membaca alam.

Bila hanya mengandalkan kekuatan fisik ada kemungkinan kita kalah dalam berjuang mencapai tujuan pendakian. Karena para pendaki-pendaki tangguh itu tidak hanya mengandalkan kekuatan fisiknya saja dalam melakukan pendakian namun keterampilan mereka membaca alam sangat membantu mereka untuk menghemat tenaga dalam pendakian. Karena bagiku yang baru pertama kali naik gunung, wuih...capek banget. Apalagi harus bertarung dengan alam yang bila tiba-tiba kurang bersahabat, bisa dibayangkan kelelahannya. Dan untuk menghindari itu biasanya pendaki sudah dibekali dengan pengetahuan tentang "membaca alam".


Selain kelelahan fisik, biasanya yang menambah berat adalah kelelahan mental. Kita bisa merasa begitu hopeless saat tidak tahu seberapa jauh kita akan terus mendaki? Apakah bekal kita cukup untuk sampai dan kembali lagi? Ditambah dengan mitos-mitos yang menyeramkan tentang gunung yang akan kita daki. Bila tidak kuat, bisa-bisa sepanjang perjalanan adalah neraka bagi kita.

Ini kisahku, sebagai seorang cewek yang baru pertama mendaki gunung aku begitu antusias untuk naik gunung. Walau secara historis aku tidak pernah berjalan jauh ditambah fisikku yang tidak begitu kuat. Setelah mebujuk seorang teman yang biasa naik turun gunung, maka berangkatlah aku bersamanya ke Solo. Dari Solo kami melanjutkan perjalanan menggunakan bus menuju terminal Tawangmangu, lalu naik angkot untuk kemudian sampai ke Cemoro Kandang. Lalu istirahat sejenak dan segera melapor kepada PERUM PERHUTANI di base camp dengan membayar karcis tanda masuk sebesar Rp. 3.500/orang. Disana juga tertulis Cemoro Kandang- Puncak Lawu hanya 5-6 jam saja.

Maka pendakianpun dimulai. Dengan mengunakan baju kaos dan celana kain serta sendal jepit(soalnya sepatuku kurang nyaman), aku memulai pendakian itu. Sebentar-sebentar aku istirahat, untunglah temanku ini tipe yang sabar. Dia selalu menunggu aku setiap berhenti untuk mengambil nafas dan menghimpun tenaga kembali. Udara Lawu saat kita masih di Cemoro Kandang sudah dingin, namun atas saran temanku aku tetap menggunakan baju kaos biasa aja, agar saat mendapatka suhu yang lebih extrim sebuah baju hangat akan terasa kegunaannya.

Setapak demi setapak aku lalui, rasanya berat banget. Agak lega saat mencapai post I di ketinggian 2.300 Dpl. Lalu mulai berjalan lagi untuk mencapai pos ke II yang hampir sama jauhnya dari base camp-post pertama, hanya saja ketinggian yang di capai tidak terlalu terjal sehingga perjalanan lebih cepat, walau jaraknya lebih jauh yaitu sekitar 1.5km, lebih panjang 0.3km dibanding base camp dan post pertama yaitu sekitar 1.2km. Setelah itu bagiku mulailah penderitaan itu dimulai.

Post ketiga yang menjadi tujuanku tidak kunjung juga kutemukan, padahal jarak dan waktu yang kutempuh sudah lebih dari jarak dan waktu sewaktu di post I dan post II. Ditambah udara yang semakin dingin dan hari yang semakin gelap. Mulailah hantu-hantuan dipikiranku datang.

Mulai dari udara yang sudah bertambah dingin, hari yang gelap, lalu jalan yang dimataku terlihat begitu menyeramkan. Bila ada jalur yang sedikit terjal aku mulai ragu untuk melankah. Dengan bantuan sebuah senter aku juga terus berjalan. Aku harus menemukan post untuk beristirahat. Aku sudah sangat lelah.

Untunglah temanku bisa menenangkanku. Dengan segala filosofinya tentang apa sebenarnya tujuan naik gunung dan menikmati setiap langkah, kelelahan dan semuanya yang kita rasa disaat mendaki gunung. Maka pikiranku mulai beralih kehal-hal tersebut. Didalam keadaan hopeless itu dia mengingatkan, bahwa setiap perjalanan pasti ada akhirnya. Lelah ini tidak akan selamanya. Bahwa saat akhir (yaitu puncak) itulah akhir pendakian ini, untuk selanjutnya beristirahat dan kita harus kembali menuruni gunung ini.

Ada perkataannya yang menambah semangatku. "Sepertinya post tiga sudah kita lewati deh, karena gelap kita tidak sengaja sudah melewatinya". Dalam hatiku sedikit terhibur, berarti perjalananku tidak jauh lagi untuk sampai puncak. Karena dari post empat, tinggal satu post lagi untuk sampai ke puncak, iya...satu post lagi.

Lalu sampailah kami si sebuah post dan temanku berkata "Alhamdulillah, ternyata kita masih di post tiga". Sontak aku berteriak "Anjriiiiiiiiiiiiiiiiiitttt...pokoknya besok kita langsung turun. Nggak usah jalan sampai puncak lagi. Aku nggak kuat, cukup...cukup...". Temanku hanya tersenyum. Ternyata cerita tentang post tigapun adalah akal-akalannya saja. Dia tahu persis dimana letak setiap post, dia udah puluhan kali naik Lawu. Itu hanya motivasi untukku.

Maka akhirnya kami bermalam di post tiga. Namun penderitaan tidak berakhir disitu saja. udara yang sangat dingin bikin aku panik, sehingga tiba-tiba aku susah bernafas, ditambah lagi suara krasak krusuk di luar sleeping bag bikin aku tidak bisa tidur dan bawaan ingin pipis terus (mana airnya sedingin air kulkas untuk cebok). Malam menjadi sangat panjang dengan semua penderitaan itu. Saat melihat mentari pagi, barulah aku bisa melihat secercah harapan.

Lalu kami siap-siap untuk menuruni gunung lawu itu. Menuruninya dari post tiga, temanku sempat menanyakan apakah aku yakin tidak mau melanjutkan untuk sampai kepuncak? Dan aku sudah sangat yakin dengan keputusanku itu. Sangat yakin dengan kemampuanku. Bagiku sudah merasakan naik gunung, sedikit mengetahui filosofi yang didapat dari naik gunung dengan aplikasi kehidupan sehari-hari sudah cukuplah. Lain kali saat tubuhku fit untuk naik gunung lagi, mungkin aku akan kembali. Kembali menikmati hijaunya pohon, setiap hembusan nafas yang berjuang karena kelelahan, kesunyian yang mistis dari mendaki gunung.

Terimakasih teman...
Terimakasih Lawuku...
Kalian banyak mengajarkan kepadaku tentang kehidupan selama kebersamaan kita disana mulai dari cemoro Kandang sampai Penggik.

Thursday, June 21, 2007

Part I ; Rekreasi Kelas

Ku tahu dia adalah seorang dari keluarga yang memiliki status ekonomi menengah keatas. Paling tidak sebagian besar dari kebutuhan-kebutuhan hidupnya dapat dipenuhi olehnya atau keluarganya dengan baik.

Malam itu dikota yang sama sekali asing baginya namun sangat sering dia impikan untuk berkunjung kesana, Jakarta. Dia beristirahat di sebuah kamar hotel dengan tarif Rp 355.000/semalam setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh dari istananya selama ini, tempat seperti itu sudah menjadi standar baginya.

Selain datang untuk mengurus adiknya yang akan kuliah di pulau Jawa itu, ia juga datang untuk memenuhi undangan temannya yang ingin memperlihatkan sisi kehidupan lain kepadanya.

Memang sangat luar biasa baginya, baru saja semalam ia berada disebuah kamar hotel yang nyaman lengkap dengan segala fasilitas seperti mini bar, tempat tidur empuk, kamar mandi bersih dan pendingin ruangan yang menambah kenyamanan kamarnya. Namun di malam berikutnya ia harus menginap disebuah kamar kontrakan berukuran 2 x 2,5 meter seharga Rp 240.000/bulan yang…ah…tak pernah terbayangkan olehnya sebelumnya. Tidur dilantai hanya dengan beralas karpet lusuh, kadang berteman tikus dan kecoa.

Dikatakan ini rekreasi kelas karena ini bukan hal yang akan dia hadapi selamanya, ini hanya sekedar memenuhi rasa keingin tahuannya akan dunia lain dari dunia yang selama ini dikenalnya. Sebuah rekreasi kelas, turun dari kehidupan kelasnya yang biasa.

Bukan hanya pemikiran yang butuh beradaptasi dengan perubahan ini tetapi jiwa dan terlebih-lebih fisik bekerja ekstra untuk mengikuti perubahan dalam rekreasi kali ini. Bila dahulu maag adalah penyakit yang datang dikarenakan diet ketat demi menjaga bentuk tubuhnya, kini maag dikarenakan makan yang seadanya (kadang ada, kadang puasa).

Aku pernah melihat senyumnya saat itu, disiang yang panas. Senyum yang mencoba memahami makna rekreasi yang sedang dijalaninya. Ada rasa iba dihatiku namun aku melihat sebuah kekuatan disana. Kekuatan untuk memahami sesamanya. Bukan aku saja, tapi aku juga tahu dia berharap ini tidak hanya rekreasi dan kemudian menjadi kenangan tentang perjalanan hidupnya, tetapi bisa membekas dan bermanfaat. Sehingga dia memiliki pisau analisa yang tajam tentang hidup dan kehidupan ini. tidak hanya bersimpati tetapi juga berempati. Berempati…ini mengingatkan aku akan kata-kata sahabatku sahabatku yang lahir di abad ke-6 itu Muhammad bin Abdullah

"Gambaran orang-orang beriman dalam hal saling mencintai, saling mengasihi, dan saling berempati di antara sesama mereka adalah laksana satu tubuh, jika ada sebagian dari anggota tubuh yang sakit, maka seluruh anggota tubuh akan ikut merintih, merasakan demam, dan tak bisa tidur."

Kini dia tahu bagaimana rasanya lapar bukan karena keharusan berpuasa atau berdiet tetapi karena memang tidak ada yang hendak dimakan. Bagaimana rasanya setiap kepingan uang logam begitu berharga. Bagaimana rasanya bersetubuh dengan bau apek, tikus, kecoa dan sempitnya kamar kontrakan.

Teman…kini kau tidak hanya tau namun kini kau sudah ikut merasakan. Kini apa yang akan kau perbuat untuk sesamamu?

Jakarta, 21 Juni 2007

Wednesday, June 6, 2007

Marinir, Dari Rakyat dan Untuk Rakyat Peluruku


Choirul Anwar


Hari masih pagi benar ketika dia siuman. Memanggil emaknya dan menangis sebentar, tentu saja emaknya tak ada. Dia diam merasai
ngelangut yang menjalar. Emak kembali dipangilnya, hanya sepi yang menjawab.

Matanya kembali berkabut pasrah menerawang. Menembus batas langit-langit. Ketika akhirnya dia memilih tertidur lagi, bisa jadi mungkin karena capek, sakit dan tak berdaya.

Bocah kecil itu namanya Choirul Anwar. Pagi sehari sebelumnya matanya sangat bercahaya, memandang takjub satria yang berbaris tegap di jalanan kampungnya, gagah dan bersenjata lengkap. Ya, dimatanya pagi itu para satria adalah bayangan Pandawa yang berangkat menyongsong
Baratayuda Jayabinangun menumpas angkara Kurawa.

Untung tak dapat diraih dan malang memilih jalannya yang paling muskil. Padang
kurusetra itu berpindah kekampungnya di Alas Tlogo, Lekok, Pasuruan.

Masih diingat jelas hari itu. Dia menjerit dan menjerit sangat ketakutan ketika para satria itu menyumpah, memaki, mengejar, memukul, menendang sambil menghamburkan
mimis-nya.

Pekaknya rentetan senapan bagi anak berumur tiga tahun adalah petir tengara kiamat. Sementara jerit takut dan teriak ibu-ibu yang menangis bingung adalah hymne kematian yang aneh. Ya, keduanya bersepakat merobek atmosfir panas siang itu menjadi warna darah.

Choirul juga masih ingat ketika tiba-tiba dadanya dirasa merebak panas. Panas yang belum pernah dirasainya. Benar, dada kecil itu dalam sekejap penuh oleh serpihan timah yang menyembur dari laras SS1 para satria laut itu. Timah itu menembus kejam melintas di dadanya, kemudian menelusup kedalam dan menyerempet paru-paru kiri serta bersarang disana. (lihat berita)

Tak pernah dimengerti mengapa timah keji itu memilih bersarang didadanya. Benar-benar dia tak mengerti, setidak mengerti mengapa kampungnya tiba-tiba diserbu tentara? Ah, Choirul mungkin juga tak bisa ingat ketika Mistin ibunya, rebah berkalang tanah dengan dada pecah.


Mistin


Tentu kita masih bisa membayangkan Mistin ditengah suasana kalut itu. Ada letusan senapan, ada jerit bingung para ibu, dan tangis anak-anak yang ketakutan semua melebur di siang itu.
Dalam suasana mencekam Mistin dibimbing nalurinya, naluri sebagai seorang ibu. Choirul digendongnya erat, di dekapkan lekat di dada. Sementara itu dia menyiapkan tubuhnya menyongsong lesat-pesat peluru itu.
Ya, Mistin memang menyediakan dirinya sebagai pelambat laju peluru tentara. Perbuatannya tak pernah sia-sia. Walau memang Mistin mati seketika. Tetapi buah hatinya Choirul, selamat.


Benar, Mistin hanyalah seorang ibu. Seperti ibu-ibu yang lain, dia akan sangat-sangat rela menukar jiwa untuk anaknya. Karena yang dilakukan Mistin bukanlah sebuah hal yang mewah bagi seorang ibu. Yakinlah, sekarang Mistin sedang tersenyum disana, senyum indah yang akan selalu di kenang dan menemani perjalanan manusia bernama Choirul Anwar kelak.


Ah, bahkan dalam membunuhpun mereka sangat berhemat. Satu peluru untuk dua sasaran.

Khotidjah

"Eman mak nek pohung iki gak diolah (sayang bu, bila singkong ini tidak dimasak)" mungkin itulah celetukan terakhir Dewi Khodijah kepada ibunya Selasa petang (29/5). Dua puluh empat jam kemudian parutan singkong itu masih teronggok di teras mushala. Hanya yang membedakan, mushola sekarang dipagari tulisan "Dilarang Melintas Garis Polisi Militer TNI Angkatan Laut"

Paginya belum lagi dia menyelesaikan parutan singkong itu, Khotidjah terkapar berdarah di depan pintu dapur dengan kepala pecah. Sebutir peluru senapan serbu melabrak pintu dapur. Tentu saja tembus. Belum cukup membuat kerusakam pada pintu, peluru itu menerjang kepala Khotidjah. Tembus dan merobek kepala kanannya. Khotodjah mati seketika. Yang lebih membuat
giris, dia membawa pergi janinnya yang baru berumur 4 bulan.

Betul peluru tak pernah bermata. Tetapi salah apa Dewi hingga pemilik peluru itu menghamburkan padanya. Kurang baik apa Dewi pada mereka ? Teh, kopi dan camilan yang disajikannya adalah bentuk "cinta dan bakti" pada mereka. Dewi jugalah yang menggelarkan karpet di mushala ketika mereka ingin hendak berdoa. Bahkan, parutan singkong itu sedianya hendak disuguhkan mereka.

Inilah potret tentara kita. Tentara yang ditakuti bukan disegani, tentara yang bahkan semua perlengkapan mereka kitalah yang membiayai. Termasuk peluru-peluru yang kemudian bersarang di tubuh
Choirul Anwar-Choirul Anwar, Mistin-Mistin, Khotidjah-Khotidjah yang tidak bersalah dan tidak tahu apa-apa. Ya, peluru-peluru itu dari rakyat untuk rakyat.

Acungkan tinju kita satu padu
- bersatu bulat semangat kita
ayo terus maju...
...

Tuesday, June 5, 2007

Alarm Peringatan Dini Tsunami.

Saat menulis ini aku masih menggunakan seragam kantor. Ini bukannya karena aku sedang istirahat makan siang atau lagi ingin bolos kerja (hi...ketauan suka bolos), tapi karena tiba-tiba orang seisi kantorku pada pulang dengan tergesa-gesa. Adanya isu tsunami membuat mereka yang bertempat tinggal di daerah pesisir laut langsung teringat dan khawatir kepada anggota keluarga yang di tinggalkanya.
Aku bukannya mau ikut-ikutan panik. Tapi lumayan, ada alasan buat pulang sekalian melihat informasi yang benarnya. Ternyata setelah diselidiki hanya air pasang bila purnama saja. Sebenarnya masyarakat biasanya sudah mengerti akan hal itu. Tapi yang bikin mereka panik adalah bertepatan dengan air pasang purnama itu, Alarm Peringatan Dini Tsunami di daerah Kahju (daerah pesisir pantai yang pora-poranda di hantam tsunami 26 Desember 2005) berbunyi.
Wah, kalau aku juga mendengar itu pastinya aku juga lari pontang-panting seperti mereka. Masih terngiang jelas diingatanku dan juga masyarakat Aceh tentang kedahsyatan Tsunami. Dan ternyata setelah alarm itu berbunyi dan masyarakat panik serta mungkin telah memakan korban (akibat kecelakaan lalu lintas), tak lama kemudian mobil penerangan memberitahukan bahwa ada konslet pada Alarm Peringatan Dini Tsunami tersebut dan masyarakat diharap tenang. Padahal kalau kalian berada dijalan raya tersebut, kalian akan lihat wajah-wajah ketakutan, ada yang sampai menangis dan histeris. Ah...Tsunami, kau begitu membekas dihati kami masyarakat Aceh.
Alhamdulillah...Syukurlah, walau agak sedikit gondok dengan konslet tersebut, yang penting tsunami itu tidak datang lagi. Tapi kami masyarakat Aceh sudah belajar dari pengalaman tentang bagaimana tsunami itu datang. Bagai mana harus bertindak dan sigap. Semoga masyarakat tidak kapok dengan kejadian ini, sehingga saat alarm itu benar-benar berteriak menyatakan akan ada tsunami, masyarakat malah santai saja menanggapinya (karena dikira Alarmnya konslet lagi). Baik teman, aku balik kantor lagi niy. Aku akan memberitahukan informasi Aceh terkini pada kalian semua. Selamat aktifitas.