Friday, August 3, 2007

Resep

Sore itu aku menemui seorang teman di apotik tempat tempatnya bekerja. Ada sedikit urusan dengannya. Apotik itu juga tempat dulu aku bekerja bersamanya. Saat itu sedang ramai dan aku memutuskan untuk menunggu saja dan membiarkanmu melayani pasien yang datang untuk menebus resepnya.

Saat itu ada sepasang orang tua yang sedang membawa anak berusia sekitar 3 tahun. Terlihat sang anak begitu lemah dipangkuan sang ayah. Lalu tiba-tiba ingatanku kembali kepada kejadian beberapa tahun lalu. Saat di sebuah koran diberitakan tentang kematian seorang bocah berumur sekitar tiga tahun (Khaerunisa) meninggal akibat muntaber.
Kematiannya menjadi fenomenal dikarenakan si bapak (Supriono) yang hanya berprofesi sebagai pemulung tidak bisa menyewa mobil jenazah dan membawa mayat si anak dengan menggendong dan menumpang di kereta rel listrik (KRL) jurusan Jakarta - Bogor dimana sang anak rencananya akan dimakamkan di Kampung Kramat, Bogor.

Sial baginya, Supriono dibawa ke Polsektro Tebet oleh penumpang KRL yang curiga. Ia pun dipaksa kembali ke RSCM untuk urusan autopsy. Di RSCM, Supriono menjelaskan bahwa Khaerunisa sudah empat hari terserang muntaber. Dia sudah membawa Khaerunisa untuk berobat ke Puskesmas Kecamatan Setiabudi. "Saya hanya sekali bawa Khaerunisa ke puskesmas, saya tidak punya uang untuk membawanya lagi ke puskesmas meski biaya hanya Rp 4.000,- saya hanya pemulung kardus, gelas dan botol plastik yang penghasilannya hanya Rp 10.000,- per hari". Ujar bapak 2 anak yang mengaku tinggal di kolong perlintasan rel KA di Cikini itu Supriono hanya bisa berharap Khaerunisa sembuh dengan sendirinya.

Selama sakit Khaerunisa terkadang masih mengikuti ayah dan kakaknya, Muriski Saleh (6 thn), untuk memulung kardus di Manggarai hingga Salemba,meski hanya terbaring digerobak ayahnya Karena tidak kuasa melawan penyakitnya, akhirnya Khaerunisa menghembuskan nafas terakhirnya pada Minggu (5/6/2005) pukul 07.00. Khaerunisa meninggal di depan sang ayah, dengan terbaring di dalam gerobak yang kotor itu, di sela-sela kardus yang bau. Tak ada siapa-siapa, kecuali sang bapak dan kakaknya.

Ya, hidup negara ini sudah begitu kejam. Jangankan untuk hidup, bahkan untuk matipun sulit. Kalau kau miskin maka jangan mati, karena kau akan bernasib sama seperti Khaerunisa nanti. Ternyata Negara ini belum berpihak kepada si miskin. Memberantas kemiskinan hanya omong kosong belaka, ternyata si miskin tetaplah miskin. Dan ini terjadi di negara yang beragama dan Pancasilais. Lalu dimana letak kemanusiaan?

Namun aku sepakat dengan Psikolog Sartono Mukadis untuk kasus Chaerunisa. "Peristiwa itu adalah dosa masyarakat yang seharusnya kita bertanggung jawab untuk mengurus jenazah Khaerunisa. Jangan bilang keluarga Supriono tidak memiliki KTP atau KK atau bahkan tempat tinggal dan alamat tetap. Ini merupakan tamparan untuk bangsa Indonesia".

Negara ini hanya mampu menyisihkan 2,6% dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) untuk kesehatan. Bandingkan bila dana BLBI 650 triliyun itu di gunakan untuk anggaran kesehatan. Anggaran yang mestinya untuk memerangi kemiskinan telah habis terkuras untuk membayar cicilan utang yang menurut data Koalisi Anti Utang (KAU) pada tahun ini mencapai Rp69,8 triliun. Padahal angka Rp69,8 triliun itu mestinya dapat memenuhi target anggaran minimal 20% untuk pendidikan, kesehatan dan bantuan bencana alam.

Lalu ditambah dengan program kesehatan yang tidak memihak si miskin seperti Supriono. Karena askses untuk mendapatkan pelayanan kesehatan masyarakat miskin mempunyai syarat-sayarat tertentu seperti KK, KTP dsb untuk mengurus surat keterangan miskin. Setelah itu barulah mereka dapat dilayani di pusat-pusat pelayanan kesehatan milik pemerintah. Sedang orang-orang seperti Supriono hidup di grobak dan berpindah-pindah jangankan KK, KTP pun tidak punya. Bagaimana caanya dia mendapatkan surat-surat tersebut? Maka bila dia tidak terdaftar menjadi salah satu warga dimanapun di negara ini maka akses untuk mendapat pelayanan kesehatan adalah mustahil. Sudahkah Negara ini berpihak kepada mereka?

Lalu aku tercenung melihat kedalam diriku. Apa yang sudah aku lakukan? Apakah aku harus menunggu negara pulih? Karena obat-obatan lama telah resisten dengan penyakit bangsa ini. Perlu resep baru yang lebih manjur agar keadilan menjadi keadilan yang merata. Tidak hanya berpihak kepada yang mampu tapi juga kepada yang tidak mampu.

Masih di ruang tunggu apotik tempat aku menunggu temanku. Aku memikirkan formulasi resep bagi orang-orang seperti Supriono. Aku rasa bila menunggu formulasi dari negara ini akan terlambat. Paling tidak akan mengorbankan Chairunisa-chairunisa yang lain.

Formulasi Resep ini kunamakan “Kesederhanaan”. Mulai dari hanya menggambil sesuai kebutuhan dan memberi sesuai kemampuan.

NB: tulis ini juga untuk memenuhi janji sebuah postingan tentang resep pavoritku. Dan ini resepnya. Resep yang coba terus kucicipi