Tuesday, May 22, 2007

Panggung

Kawan, jika kau duduk sambil memeluk lutut di perempatan sibuk ini, sementara mata yang menerawang lalu lalang nyalang hanya menangkap suwung, kau akan tahu bagaimana perasaan yang membuncah ruah di hati. Ada penat yang sumeleh, ada riang yang getir dan ada kengerian akan beranjak kemana kota ini dengan segala hiruk-pikuknya.

Ya, aku disini selalu gelisah kawan. Gelisah menunggui waktu yang alpa menjemput janji-Nya memenangkan si papa.

Disini adalah Jakarta, kota lupa diri yang gedung-gedung tingginya dibangun atas amnesia kolektif warganya plus segala simbol-simbol kemakmuran dan kejumawaan modalnya. Sementara perempatan-perempatannya selalu setia menegasikan simbol-simbol dan memilih menjadi potret yang hitam putih apa adanya.

Lihatlah lampu trafict yang menyala bergilir-gilir itu, dari merah, kuning kemudian hijau seolah menjadi penanda pertunjukan purba. Ada perjuangan, ada pecundang, ada aturan rimba yang dibudayakan dan ada darah serta air mata yang menetes-netes mencari tempat berpijak.

Pandanglah ketika lampu beranjak merah kawan! Jendela-jendela mewah keegoisan diketuk dengan nyanyian sumbang. Tubuh yang dibuai sejuknya pengatur suhu dan telinga yang dimanjakan oleh kenyamanan stereo atau mata yang terbiasa di disuguhi keteraturan dipaksa bersirobok dengan teriak penjaja koran, mata memelas pengamen buntung atau senyum mesum banci yang nanggung, mereka mengungkap satu hal. Penggugatan terhadap hak yang diabaikan penguasa.

Tetapi kawan, seperti kamu bilang mengutip sepenggal sajak Ho Chi Minh, "Pertandingan di mana-mana, satu harus menang, dan yang lain harus kalah" Ada pemenang dan ada pecundang begitu vonis sang takdir. Tak ada yang berubah.
Mungkin jendela itu mengintip sedikit, setipis uang logam -memang hanya untuk itu jendela mengintip- dan menutup tergesa meninggalkan denting logam yang mengadu aspal. Sisanya adalah asap dari knalpot berebut menyergap ketika kau memungutnya.
Kawan, jika kau duduk sambil memeluk lutut di perempatan sibuk ini, sementara mata menerawang lalu lalang yang nyalang menangkap suwung. Keherananku mungkin sama dengan Abu Dzar saat ia berkata, “Saya heran melihat mereka yang hidup kelaparan, tetapi tidak membawa pedang-pedang mereka dan mendatangi orang-orang kaya itu untuk mengambil harta mereka.”

Ya, Abu Dzar benar, pedang-pedang itu telah disarungkan dan dijinakan dengan segala dogma. Jakarta yang bebal memang tumbuh bersama nafsunya yang paling jorok dan menumpulkan. Tak aneh bila dia menjadi etalase dari negeri anomali yang malas berfikir akan keadilan. Keadilan bagi Jakarta dan negerinya adalah kosa kata yang hanya kencang di gedung-gedung untuk diperdebatkan dan terdengar sayup-sayup ketika sampai di perempatan. Disana pertanyaan yang berebut menghantui bukanlah besok makan apa? Tetapi , besok apa makan? Begitulah di ulang setiap harinya.

Ah, ini hanya soal tentang bagaimana memperpanjang nafas sampai besok. Dan nafas penyambung itulah yang dipertaruhkan di perempatan-perempatan dengan mengkais dan memungut. Ya, tak pernah menjadi MEREBUT !!

Benar, Jakarta adalah ironi, pengkhianatan dan srigala yang siap menelan siapa saja yang menolak dan mengguncang kemandekannya. Bahkan jauh sebelumnya, orang-orang seperti Pieter Erberveld dan Raden Kartadria-pun harus takluk ketika berencana makar terhadap VOC di pergantian tahun 1740. Meede, putri Pieter yang cantik, yang kasmaran pada opsir gantheng VOC memilih membocorkan rencana ayahnya pada kekasihnya.

Dan pesan penguasa kepada para pembangkang jelas setelah itu,
"Kepada Pieter Erberveld, warga kota, lahir di Batavia dari bapak seorang berkulit putih dan ibu berkulit hitam berusia 58 atau 59 tahun. Erberveld dan sekutunya Raden Kartadria hukumannya masing-masing diikat pada sebuah kayu salib. Tangan mereka masing-masing akan dipotong, lengan, kaki dan dada mereka akan dijepit dengan jepitan panas sampai kepingan-kepingan daging mereka terkelupas. Badan mereka kemudian akan dirobek dari bawah hingga atas, dan jantung mereka akan dilemparkan kemukanya. Setelah itu kepala mereka akan dipenggal dan dipasang pada tiang. Badan mereka yang telah berkeping-keping dibiarkan dimakan unggas"

Kisah lain menyebutkan kengerian yang sama untuk menghukum para pembangkang, bahwa tangan dan kaki Pieter diikat pada empat ekor kuda yang saling berlari kearah berlawanan. Ya, hingga tubuhnya terbelah empat.

Lalu sebuah monumen berbentuk tembok dan bercat putih diatasnya terpasang sebuah tengkorak manusia terbuat dari gips. Monumen itu tertulis : ''Sebagai kenang-kenangan yang menjijikkan akan penghianatan Erberveld ...... .'' Begitu dendamnya VOC pada Pieter, hingga siapapun melewati monumen itu boleh untuk mengencinginya.
Kini gambaran kisah tragis Pieter Erberveld menjadi nyata dalam keseharian, monumen-monumen pasar itu selalu mengencingi kemanusiaan kita. Siapa yang tak mendengar teriakan sumbang mereka di jalanan ketika suaranya menembus pekatnya awan berkarbon langit Jakarta? Semuanya mendengar, bahkan tembok-tembok jalanan, Ciliwung yang kotor sampai istana yang resik toh tetap sibuk dengan urusannya masing-masing, dan nyanyi itu pelan melenyap di telan sunyi.

Kawan, aku mendengar nyanyi sunyi tak lagi sesunyi yang di bayangkan Pram. Semua menjadi riuh dengan gemuruh yang memekakan dan berderap sigap menyongsong mimpi Kalabendu yang diangankan Ranggawarsita.
Ya, Jakarta sebagai panggung telah menyiapkan dirinya menjadi potret yang gagal dan absurd bagi keadilan. Dalam imajinasi manusianya, Jakarta bisa dan telah berarti apa saja. Sorga atau neraka, tumpukan sampah atau modal, semua hanya masalah seberapa yang kau punya untuk jalan kesana. Batas-batas telah dikemas menjadi setipis kulit ari dan mati bersama artinya. Selebihnya adalah horor yang menyergap dalam setiap fragmennya. Kematian dan kehidupan tak pernah mengajarkan sesuatupun selain pahit dan getir. Ya, Jakarta oleh semua telah menjadi rimba ‘the end justifies the means’. Dan Jakarta memang cabo.

Di layar tv orang tua berwajah ceria, berbangga untuk sebuah iklan, "Jakarta terapung, Jakarta punya monorel. Oke.. "

Entahlah, tiba-tiba dibenakku teringat cerita seorang kawan dari pinggiran Banjir Kanal tentang rumahnya, "Disepanjang bantaran kali itu, berderet-deret rumah saya dan senasib saya, tidak mirip rumah sebetulnya karena kalau di kampung tempat seperti itu lebih mirip kandang kambing. Atapnya plastik, sobekan terpal, atau rongsokan seng yang kadang kalau angin bertiup sedikit kencang saja semua berhamburan terbang. Dindingnya sama saja, sakketemune, kardus bekas TV, patahan papan atau apa saja asal bisa buat penghalang angin. Dan yang paling bikin saya ngenes adalah bila hujan, sejam saja hujan turun, rumah kami berubah menjadi kali. Seringkali saya merasa ikan sapu-sapu mungkin lebih beruntung dibanding kami. Tetapi, bagaimana lagi? Hanya disanalah saya menjalani hidup sebagai manusia. Dari hari kehari membangun harapan dan menyemai mimpi. Entah sampai kapan?"