Saturday, April 19, 2008

Makkunrai itu Lily Yulianti Farid

Bertemu Blogger asal Makasar yang satu ini langsung beliau bercerita tentang buku-buku. Beliau yang biasa di sebut Daeng Nuntung ini meminjamkan buku yang menarik padaku. Buku setebal 152 halaman itu baru ku baca keesokan harinya. Buku itu habis kulahap hanya setengah hari saja. Itupun diselingi canda dengan ponakan tercinta. Yang belum bisa membaca dan menulis. Melihat sampul bukunya kami pun lalu menyanyikan sebuah lagu yang sedikit cocok dengan tema cover itu.

Matahari terbenam
Hari mulai malam
Terdenga burung hantu
Suaranya merdu

Ku ku…ku ku...ku ku...ku ku...ku ku...
Ku ku…ku ku...ku ku...ku ku...ku ku...

Walau tidak sepenuhnya terwakili. Buku dengan latar langit biru itu memberi karakter kuat. Setidaknya pada gambar siluet seorang perempuan yang melompati pagar dan burung-burung yang berterbangan. Yang mewakili keinginan akan “kebebasan”. Dan itu mewakili cerita yang terdapat dalam buku itu yaitu tentang “makkunrai” yang berarti perempuan dalam bahasa Bugis.

Buku yang berisi 11 cerpen ini, menarik disetiap ceritanya. Pemilihan kata yang humoris dan mengalir membuat kita saat membaca ingin segera melahap semua isinya. Kelucuan, keharuan, kegusaran, dan miris kadang kita temukan dalam satu cerita. Melihat setting dari setiap cerita di dalamnya, tahulah kita kalau sang penulis banyak membaca dan melakukan riset guna mendapatkan gambaran yang benar tentang suatu tempat.

Setiap makkunrai yang menjadi tokoh utama dalam cerita-cerita ini membawa misi tentang kesetaraan. Atau paling tidak ingin mendapatkan posis setara dalam segala hal. Pesan perjuangan para makkunrai juga kuat. Dimana para makunrai tetap memperjuangkan kehendak bebasnya dalam situasi yang sering tidak menguntungkan bagi mereka, disebabkan meraka makkunrai. Cerita di dalamnya semakin asyik saat mengangkat polemik yang terjadi disekitar kita dan diceritakan dengan ringan. Dimana sentilan terhadap sosial politik dalam negeri dan kondisi dunia secara global di sajikan dengan baik. Seakan kita menyantap hidangan baru yang membuka mata tentang sekeliling kita.

Membaca buku Lily ini saya seperti melihat Kartini dalam surat-surat kepada sahabatnya. Agak jauh dari kehendak bebas para makkunrai yang banyak terjadi di negeri ini. Setidaknya banyak tokoh dalam Makkunrai dari cerita ini hanya berputar-putar pada dirinya sendiri. Ya, mereka adalah Kartini dalam kotaknya bagi saya.

Namun begitu sindiran yang di hadirkan dalam makunrai berjalan laju dari masa lalu sampai dengan kekinian. Membuat mengenang keadaan masa lalu dan sekarang dengan terang. Cerpen ini penuh inspirasi bagi penulis untuk dapat menulis indah. Saya sangat suka dalam pemilihan kalimat serta emosi yang di hadirkan dalam buku ini. Apa lagi bahasa yang humoris dan renyah seperti dalam Nua, Diani dan lelaki Bejat

“ kami para warga kota mencintai mie pangsit ayam Kios Maryana menaikkan bendera setengah tiang. Kami berkabung. Sejak kasus perselingkuhan Akoh, pemilik kios itu menjadi pembicaraan hangat.

Perubahan ini jelas membuat kami para penggemar mie pangsit ayam buatan suami istri itu, terguncang dan kehilangan arah”

Jadi saya ucapkan selamat untuk Makkunrai bernama Lily Yulianti Farid atas inspirasi untuk menulis. Dan untuk Daeng Nuntung atas pinjaman bukunya.