Sunday, April 6, 2008

Merpati

Terakhir aku melihatnya masih berduaan saat mampir kerumahku. Bermain di dekat ember air di samping rumahku. Sambil sesekali duduk di dahan batang belimbing. Suara riang dan saling bercanda dengan kekasihnya menyelusup masuk ke kamarku. Aku tidak tahu kalau mereka kekasih atau hanya sekedar teman. Tapi dari caranya memandang dan berbicara aku tahu kalau ada cinta diantara mereka. Maka aku memutuskan kalau mereka sepasang kekasih.

Kemarin aku tidak melihat kau datang lagi bermain di samping rumahku atau di pohon belimbing. Memang hujan beberapa hari ini selalu membasahi bumi setelah hari-hari dilanda panas yang sangat. Saat semua yang hidup serasa menjadi lebih tua dari semestinya. Sampai awan yang menggelap membawa kabar akan turunnya rintik air dari sana. Tentu semua bersuka cita. Hanya kau yang kulihat murung. Saat itu aku lihat kehadiranmu di samping jendela kamarku. Tanpa suara dan sendirian. Kau hanya memain-mainkan air di ember sambil sekali menatap langit. Seseolah menunggu sesuatu datang dari sana. Kau lebih banyak gelisah dan diam. Sebenarnya aku ingin menanyakan kemana kekasihmu itu. Tapi melihat kau yang begitu resah membuat aku membatalkan niat itu. Dan hanya memandangi semua gerak-gerikmu.

Hujan kembali turun. Kulihat kau tidak menyadarinya atau kau terlalu sibuk dengan suasana hatimu sendiri sampai kau tidak memperdulikan hujan yang membasahi tubuhmu. Tapi sepertinya waktumu sudah habis di rumahku. Langit sudah muai gelap. Matahari yang tertutup awanpun perlahan tertelan bumi. Kau pun segera pergi tanpa sepatah katapun hari ini. Selalu melewati jalan yang sama.

Entah mengapa aku begitu menantikan kehadiranmu. Suara dan candamu mewarnai hari-hariku. Melihat cinta yang begitu tulus diantara kau dan kekasihmu itu. Aku berjanji besok akan bertanya padamu tentang kekasihmu itu.

Hari bersinar cerah. Ini menggembirakan aku. Karena aku yakin tidak akan ada halangan kau untuk datang bermain kerumahku. Aku sudah mempersiapkan sedikit roti agar kita bisa ngobrol panjang nanti. Semoga kau suka. Aku mulai gelisah saat matahari sudah sepenggelan tergelincir ke barat. Ah, masih ada waktu. Tenang. Hanya itu yang bisa aku lakukan. Terus menunggumu. Sampai akhirnya aku tertidur.

Plakkk…

Sebuah suara membangunkanku. Suara yang berasal dari jendela kamarku. Aku langsung bangkit dan melihat ke jendela.

“astaga, kau kenapa?”

Kulihat sayapmu terluka. Tapi kau masih sempat menyungingkan sebuah senyum. Langsung kau kubawa masuk ke kamarku. Dengan tergesa-gesa aku mengambil obat merah, perban dan air untuk membersihkan lukamu dengan kapas. Kau terlihat pasrah sambil sesekali membuka matamu. Aku memang bukan Sulaiman dengan mukjizatnya yang dapat berbicara dengan segala hewan. Tapi bolehkan kau memberi tahuku apa yang terjadi denganmu.

Saat itu tiba-tiba jutaan cahaya berpendar di kepalaku. Aku bagai melihat sebuah film dalam kepalaku. Aku terbang rendah dilangit melewati atap-atap rumah. Berbelok menghindari pohon. Sesekali terbang tinggi berteman awan. Lalu tiba-tiba aku menukik tajam saat melihat sebuah rumah. Aku sangat takut. Tapi disaat yang sama aku begitu penasaran. Saat aku semakin dekat dengan bumi, tiba-tiba mataku melihat sesosok yang sangat aku kenal. Itu kekasihmu. Dia berada dalam sangkar berwarna hijau dengan ukiran emas pada bagian atas sangkar dan pintunya. Iya, itu kekasihmu.

Tiba-tiba dalam kepalaku keluar suara yang aku juga sangat mengenalnya, itu suaramu tapi terdengar sangat nestapa. Kekasihmu yang disangkar itu mendengarnya. Ia langsung melihat ke arahku. Lalu aku mendekat ke pintu sangkar itu. Aku sepertinya mencoba membuka pintu sangkar dengan paruhku. Tapi tidak berhasil. Malah menimbulkan suara berisik. Sehingga tuan rumah itu terbangun. Melihat aku sedang berusaha membuka sangkar burungnya. Iya cepat-cepata mengambil sapu. Aku masih tidak peduli, aku terus mematuk-matukkan paruhku. Saat tiba-tiba aku melihat sebuah kayu menyambar sayap kiriku. Aku terluka. Tapi masih ingin membuka pintu sangkar itu. Lalu ku dengar suara kekasihmu. Sepertinya perintah untuk pergi. Lalu dengan sayap terluka itu aku terbang. Terbang sampai disebuah rumah yang tak asing bagiku. Ya, Itu rumahku. Aku melihat aku sedang tertidur di kamarku dan Plakkkk. Duaniakupun kembali.

Kau dengan matamu sudah membawaku melihat apa yang terjadi sampai akhirnya kau terluka. Kulihat kau masih memejamkan matamu. Tapi aku tahu kau masih bernafas. Dengan perlahan aku membalut lukamu. Air mata ikut membasahi pipiku. Setelah selesai dengan sayapmu. Aku mengambil roti yang telah aku siapkan untukmu.

“makanlah”

Sepertinya kau tidak sanggup untuk menggerakkan paruhmu. Maka akupun hanya memasukkan air putih saja ke paruhmu dengan sedotan. Biarlah kau pulihkan sayapmu.

Beberapa jam sekali aku melihat keadaanmu. Sepertinya kau tidur pulas. Mungkin sangat lelah. Kau berjuang untuk dapat bersama-sama dengan kekasihmu. Menghadang bahaya. Aku jadi teringat akan nasibku disini. Mungkin selama ini aku iri kepadamu. Karena aku tidak bisa berbuat sepertimu. Aku terpaksa harus berpisah dengan kekasihku. Tahu apa yang kulakukan? Aku hanya berdiam diri di kamarku dan memerima takdirku tanpa berbuat sesuatu. Lalu hanya menyimpan dirinya di dalam jiwaku. Namun saat ini kau membawa semangat baru padaku. semangat yang membuat hangat dalam dadaku yang membeku. Semangat yang membuat terang dalam gulita hatiku. Akupun tersenyum. Sambil kembali melihat keadaanmu. Masih tidur. Tapi, kepalamu tergolek tak biasa.

“jangan pergiiiiiiii….”

“bertahanlah….”

“aku akan membantu kau agar dapat kembali bersama kekasihmu”

“demi kekasihmu, bertahanlah”

Kau hanya diam. Ya, kau akhirnya menyerah dengan segala sakit dan perihnya. Aku tahu kedatanganmu di kamarku bukan tanpa tujuan. Aku akan menyelesaikan tugasmu. Tentunya setelah menguburkanmu. Tentu kau akan senang jika di kubur di samping rumaku di dekat pohon belimbing itu.

Keesokan hari aku sudah siap-siap untuk jalan. Aku masih ingat jalan yang dilewati teman merpatiku itu. Setelah mengenali beberapa bangunan dan pohon yang kemarin aku lewati. Sampailah aku pada rumah tujuanku. Setelah mengetuk pintu, keluarlah seorang pria. Aku mengenalnya. Dia yang kemarin memukul sayap merpati dengan kayu.

Setelah mempersilahkan aku duduk, aku pun langsung mengatakan maksud tujuan kedatanganku. Dia terlihat tidak senang.

“apa bisa saya melihat burung merpati bapak?”

“saya sebenarnya tidak suka sama merpati itu. Tapi anak saya yang kecil memaksa”

“tapi sepertinya adik terlambat datang kemari. Merpatinya sudah mati”

“mati?’

“iya, dia tidak mau makan. Mungkin itu penyebabnya”

***

Beberapa minggu setelah kematianmu. Aku pun menyusun rencana. Aku akan mencari lagi cintaku. Memperjuangkannya seperti dirimu. Menghadang segala onak durinya. Kalaupun aku harus habis. Aku habis dengan terhormat. Sebuah tulisan manis untumu sahabat merpati ku