Tuesday, March 18, 2008

Tentang Rasa

Aku disini menunggumu. Menunggu entah untuk apa. Hanya ingin terus bersamamu walau kau tidak di sampingku. Dengan rasa takut lebih sering menyelimuti tidur malamku. Berteman air mata yang tidak ternamakan. Semilir angin kenangan lebih sering membuat terjaga ketimbang melelapkan.

Cinta, maafkan aku yang membelenggumu dengan rasa ini. Memberikanmu sejuta harapan dalam buih lautan mimpi. Memberi segala kepastian yang aku sendiri tidak dapat memastikannya. Aku mengacaukan dirimu. Aku menjadikan dirimu hancur.

Bila yang kita punya hanya istana dari pasir, maka akan ku dorong ombak agar tidak mendekati bibir pantai. Akan ku usir angin menjauh.

Rasa apa lagi yang tidak kita bagi?

Sama sepertimu…

Maafkan aku yang terlalu bodoh menyadari bahwa ini akhirnya akan menyakitimu. Mungkin memberimu luka. Bangunkan aku cinta! Bangunkan! Bangunkan aku, agar aku sadar akulah yang bersalah kerena menyalakan api. Api yang menjalani takdirnya dengan membakar. Aku siap terbakar. Sungguh-sungguh siap. Tetapi aku tak akan memaafkan diriku bila kau ikut merasakan panasnya.

Kini malam menyepi dan bersandar dibebatuan. Wanginya senyap dan gelapnya menggiriskan. Itukah yang memaksa kita selalu berjaga? Bulan sepotong di beranda tersenyum tolol padaku. Bintang, lalu-lalang jalanan, seekor kelelawar yang bandel, secangkir kopi dan sepotong roti bakar rasa pisang berkarib pada malam yang lelah ini.

Aku pernah mengatakan bahwa ini bukan urusan kepemilikan, kau sepakat sekaligus tak bersepakat. Tetapi yang pasti aku bertindak tidak adil padamu. Sungguh tidak adil. Aku menyakitimu bahkan tanpa aku menyadarinya. Aku si pungguk yang memaksa bulan tinggal di bumi. Mendandaninya dengan kemanusian dan memasangkannya pada keriuhanku.


Disini dengan rasa itu, aku menunggumu...
Masih menungggu...
Dan terus menunggu...